TEMPO.CO, Jakarta - Suasana sepi dan damai di desa Sagamihara, distrik Tsukui, sekitar 50 kilometer sebelah barat Tokyo, Jepang seketika berubah menjadi hiruk pikuk dini hari tadi, 26 Juli 2016. Suara sirene puluhan mobil ambulans dan mobil polisi hilir mudik di jalan desa yang berbukit-bukit untuk mengantar korban pembantaian keji ke rumah sakit. Penduduk desa pun terbangun dan terkejut mendengar kabar pembantaian keji terjadi di rumah perawatan penderita cacat mental.
Satoshi Uematsu, 31 tahun, dengan menggunakan pisau menerobos masuk rumah perawatan sekitar 150 penyandang cacat mental, Tsukui Yamayuri Garden. Ia kemudian menikam lebih dari 40 orang. Sebanyak 19 penyandang cacat tewas di tempat dibunuh Uematsu.
Baca: 'Semoga Dunia Damai' Cuit Pembunuh Penderita Cacat di Jepang
Warga Sagamihara terkejut dan merasa sakit hati karena yang menjadi korban adalah orang cacat yang tidak berdaya. Seorang warga yang rumahnya bersebelahan dengan pusat perawatan tersebut, mengaku bahwa dia mengenal baik para pekerja dan juga pasien, bahkan mereka sudah terbiasa aktif membantu satu sama lain.
"Mereka telah diterima dengan baik serta ramah dan telah berbaur dengan masyarakat," kata Chikara Inabayashi, 68 tahun. "Insiden itu menakutkan, tapi itu tidak mengubah apa yang saya pikirkan tentang tempat ini. Ini masih merupakan tempat yang penting bagi mereka yang membutuhkan bantuan."
Seorang penduduk lainnya, mengaku cukup mengenal pelaku pembunuhan keji tersebut. Akie Inoue, mengatakan dirinya dan putrinya sering menghadiri acara di rumah perawatan penyandang cacat dan bertemu dengan Uematsu yang dikenalnya ramah dan baik.
Penduduk sekitar tidak menyangka bahwa peristiwa keji itu akan terjadi di tempat mereka hidup, terlebih itu menimpa orang-orang yang tidak berdaya dan tidak mengerti apa yang terjadi.
NY TIMES|ABC NEWS|YON DEMA