TEMPO.CO, Ankara - Hubungan Turki-Amerika Serikat tegang setelah pemerintah berhasil menggagalkan upaya kudeta oleh sekelompok militer pada Jumat dinihari, 15 Juli 2016, waktu setempat.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuduh pengusaha sekaligus ulama, Fethullah Gulen, yang berada di pengasingan berada di balik aksi makar tersebut. "Erdogan mendesak AS mengekstradisi Gulen," tulis Aljazeera, Ahad, 17 Juli 2016.
Gulen, 75 tahun, yang saat ini tinggal di Saylorsburg, sebuah kota kecil di Pegunungan Pocono, negara bagian AS, Pennsylvania, menolak dituding terlibat dan mengutuk aksi tersebut.
"Saya tidak tahu siapa pengikut saya," kata Gulen kepada New York Times dari kediamannya ketika diminta komentarnya mengenai tudingan bahwa dia bersama para pengikutnya sengaja menyiapkan kudeta yang menewaskan setidaknya 245 orang tersebut.
"Karena saya tidak mengenal tiap-tiap individu di sana, saya tidak bisa berbicara siapa saja yang terlibat dalam aksi tersebut. Bisa jadi pelakunya kelompok oposisi atau nasional. Saya meninggalkan Turki sudah 30 tahun dan tidak mengikuti perkembangan di sini (Turki)."
Selama wawancara yang jarang ia lakukan dengan media, dia justru berbalik menyatakan bahwa aksi makar itu justru diskenariokan oleh Erdogan. "Namun, orang yang beriman, saya tidak bisa menuduh tanpa bukti. Ini bisa jadi sebuah kebohongan atau tuduhan palsu. Saya berlindung kepada Allah atas tudingan palsu itu," kata Gulen.
ALJAZEERA | AL ARABIYA | CHOIRUL AMINUDDIN