TEMPO.CO, Kota Kuwait - Kuwait menjadi negara Teluk pertama yang memperkenalkan upah minimum bagi sekitar 600 ribu pembantu rumah tangga yang hampir sebagian besarnya berasal dari Asia. Pengumuman itu disampaikan ketika negara itu kini menghadapi berbagai tuduhan kekerasan yang menimpa para pekerja domestik tersebut.
Seperti dilansir Kuwait Times pada Kamis, 14 Juli 2016, Menteri Dalam Negeri Kuwait Sheikh Mohammad Khaled al-Sabah mengumumkan upah minimum tersebut. "Para PRT akan menerima gaji minimum 60 dinar Kuwait (Rp 2,6 juta) per bulan."
Selain itu, pemerintah juga berjanji setiap pembantu rumah tangga berhak menerima beberapa hak lain. Pemerintah Kuwait menjamin PRT memiliki hak libur satu hari dalam sepekan, 30 hari cuti tahunan, 12 jam kerja dengan istirahat, dan jika kontrak kerja berakhir maka pekerja itu mendapatkan pesangon satu bulan gaji.
Pemerintah juga menetapkan prosedur untuk menyelesaikan perselisihan pembantu, majikan, atau kantor perekrut mereka, yang wajib memberikan kontrak kerja bagi mereka.
Dalam aturannya, keputusan tersebut juga melarang kerja pembantu dengan usia di bawah 20 tahun dan di atas 50 tahun. Hal ini juga menetapkan satu pembantu hanya untuk melayani satu keluarga yang beranggotakan empat orang. Adapun keluarga dengan anggota lima-delapan orang harus dilayani dua asisten rumah tangga. Lebih dari delapan orang, keluarga itu harus mempekerjakan tiga pembantu.
Hukum ini juga berlaku untuk sopir pribadi, pelayan, pengasuh anak, dan koki.
Saat ini tercatat, terdapat ribuan warga negara Indonesia yang bekerja sebagai PRT di negara terkaya ke-33 dunia tersebut. Berdasarkan data terakhir dari pihak imigrasi Kuwait pada awal 2016, ada 5.499 warga Indonesia yang bekerja sebagai PRT. Padahal, Indonesia masih menetapkan moratorium alias penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Timur Tengah, termasuk Kuwait, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhono. Moratorium baru akan dicabut bila negara-negara Teluk menjamin keselamatan dan keamanan tenaga kerja asal Indonesia.
KUWAIT TIMES | YON DEMA