TEMPO.CO, Amman - Pemerintah Yordania sangat antusias menunggu pembicaraan terkait dengan kerja sama nuklir dengan Amerika Serikat, setelah proses perundingan panjang sebelumnya menemui jalan buntu.
“Perjanjian ini akan membuat Yordania bisa mengakses teknologi Amerika, termasuk reaktor modular kecil yang sangat cocok untuk program energi nuklir yang akan dikembangkan,” ujar Khaled Toukan, Kepala Komisi Energi Atom Yordania.
Sebelumnya, Yordania dan Rusia telah menyepakati perjanjian pembangunan dua reaktor besar nuklir senilai $ 10 miliar atau sekitar Rp 130 triliun, yang akan dibangun pada 2025.
The Associated Press melansir Yordania telah meluncurkan program nuklir sejak satu dekade lalu untuk mengatasi kelangkaan energi yang sangat mengkhawatirkan di negara tersebut. Yordania harus melakukan impor energi fosil hingga 98 persen untuk kebutuhan listrik. Permintaan terus naik. Akibatnya utang terus membebani negara.
Namun rencana ini tidak berjalan mulus karena program tersebut terus mendapat kritik. Program itu dinilai terlalu tergesa-gesa dan tidak akan semahal itu jika pemerintah mengembangkan energi angin dan solar. Komisi yang dipimpin Toukan pun dinilai kurang transparan dan tidak cermat.
“Dalam pandangan saya, satu-satunya cara yang akan kami lakukan adalah membuktikan bahwa program ini hanya akan mengundang bencana,” tutur Saed Dababneh, mantan Wakil Kepala Komisi Pengatur Nuklir Yordania.
Pandangan serupa juga datang dari pengamat nuklir Amerika Serikat. “Saya pikir, energi nuklir terlalu berisiko bagi Yordania, berbiaya tinggi, dan tidak bisa diprediksi” kata Chen Kane, Direktur Program Timur Tengah di James Martin Center for Nonproliferation Studies.
Namun Toukan membantahnya. Menurut dia, pemerintah sudah mendapat penilaian dari International Advisory Group, well planned path, yang menandakan bahwa Yordania bisa melanjutkan program ini.
Sebagai negara yang aktif dalam usaha non-proliferasi nuklir, Amerika Serikat berkeras bahwa Yordania tidak membutuhkan nuklir, sebagaimana Uni Emirat Arab yang sebelumnya melakukan perjanjian dengan Washington. Namun Yordania, yang memiliki deposit uranium, tetap membuka pintu kerja sama untuk tujuan kedamaian ini.
“Kami berusaha menemukan jalan terbaik dengan meyakinkan Amerika Serikat mengenai hal non-proliferasi dan keamanan, tapi tidak menghilangkan wewenang Yordania sendiri,” ucap Toukan.
Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Yordania juga berharap perjanjian yang nantinya dicapai bisa merefleksikan komitmen bersama untuk non-proliferasi nuklir, keselamatan, dan keamanan.
AL ARABIYA | FAJAR PEBRIANTO | MR