TEMPO.CO, Roma - Turki dan Israel, Senin waktu setempat, 27 Juni 2016, mengumumkan perjanjian perdamaian, sekaligus mengakhiri sengketa selama enam tahun. Kesepakatan itu tercetus menindaklanjuti insiden serangan berdarah terhadap kapal Mavi Marmara yang menyertai misi bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza pada 2010.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan hal itu setelah bertemu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry di Roma. Netanyahu melihat pemulihan kembali hubungan antara Tel Aviv dan Ankara bakal merangsang pertumbuhan ekonomi Israel. Sedangkan Turki menggambarkan itu sebagai keberhasilan diplomatik mereka.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga menghubungi rekannya, Mahmoud Abbas, di Palestina melalui telepon untuk memberi tahu kesepakatan itu. Erdogan mengabarkan perjanjian tersebut juga menetapkan syarat agar Israel memulihkan situasi kemanusiaan di Jalur Gaza yang masih berjuang pasca-rekonstruksi setelah perang di wilayah itu pada musim panas 2014.
Sementara itu, Tel Aviv setuju dengan syarat ditetapkan Ankara, termasuk mengajukan permohonan maaf dan membayar kompensasi US$ 20 juta atau sekitar Rp 270 miliar kepada ahli waris keluarga korban dalam insiden itu.
Pejabat senior Turki menginformasikan Israel juga setuju melonggarkan pembatasan untuk mengizinkan Ankara melanjutkan proyek infrastruktur di Gaza, seperti pembangunan rumah sakit yang dilengkapi 200 tempat tidur, pembangkit listrik baru, dan pengiriman bantuan non-militer di wilayah tersebut.
Hubungan antara kedua negara mulai keruh setelah komando Israel menembak mati sepuluh aktivis warga Turki di perairan internasional pada Mei 2010.
HAREETZ | JERUSALEM POST | INDEPENDENT | YON DEMA