TEMPO.CO, Eindhoven – Tujuh anak asal Belanda mengenakan kebaya dan blangkon lengkap dengan kainnya. Mereka kemudian menyanyikan lagu Gundul-gundul Pacul dalam acara Cultural Day yang digelar di Kota Eindhoven, Minggu 26 Juni 2016.
Diiringi gamelan para niyaga yang tergabung dalam Sanggar Sekar Lengen Budoyo Setyowati, Lorenso, satu dari tujuh anak itu, bersama teman-temannya, dengan lancar dan cukup fasih mendendangkan lagu berbahasa Jawa bernuansa anak-anak. Hingga para hadirin bertepuk tangan dengan meriah.
“Inilah yang dinamakan pendekatan people-to-people untuk saling mengenal dan memahami budaya. Bagus sekali jika dilakukan mulai anak-anak,” kata Duta Besar RI untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, seusai acara.
Dubes Puja berterima kasih kepada Inggrid van der Smitte, Ketua Yayasan sekar Langen Budaya Setyawati, penyelenggara kegiatan tersebut. Dia menilai , acara itu merupakan upaya melestarikan budaya Indonesia yang dilakukan berbagai komunitas masyarakat di Belanda.
Selain tembang Asmorondono, Gambuh, Kebogiro, Pangkur, dan Singonebah, para niyaga atau penabuh gamelan juga memainkan lagu anak-anak yang gembira, seperti Kupu Kuwi, Manyar Sewu, dan Menthog-menthog.
Baca Juga:
Pada kesempatan itu ditampilkan pergelaran wayang kulit bersama dalang Ki Suhardi Djojoprasetyo , dengan lakon Perang Kembang. Cerita ini menggambarkan cuplikan adegan Arjuna yang jatuh cinta kepada Dewi Manohara. Ceritanya mengandung pesan kebaikan selalu memang melawan kejahatan.
Selain gamelan dan wayang, ditampilkan tari gambyong pareanom yang dibawakan dengan luwes oleh Irene Panuju, warga Indonesia yang tinggal di Belanda.
Hadirin yang datang adalah warga Belanda dari berbagai kalangan, mulai anak-anak, remaja hingga usia lanjut, yang menggunakan kursi roda menuju tempat pertunjukan. Sebagian mengatakan rindu kepada Indonesia.
Satu di antaranya, Isabelle, mengatakan lahir 86 tahun lalu di Surabaya. “Saya ke acara ini karena rindu dengan Indonesia, kangen sama makanan Indonesia,” kata Isabelle, yang datang dengan kursi roda elektrik, kepada Minister Counsellor Penerangan, Sosial dan Budaya, KBRI Den Haag, Belanda, Azis Nurwahyudi, yang duduk di sebelahnya.
Kerinduan itu tampak saat dia menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang digelar. Seusai acara, Isabelle membeli nasi kuning dan urap untuk dibawa pulang.
Eugina, mahasiswa yang berasal dari Ghana, juga terpana dengan penampilan wayang kulit. Eugina mengatakan, untuk pertama kalinya, dia melihat wayang kulit. Ia sangat tertarik dan ingin mencoba memainkan beberapa alat, seperti saron dan bonang.
Tidak lengkap jika acara budaya Indonesia tidak menyajikan aneka makanan khas. Ririn, pemilik warung Djokja, yang sudah 18 tahun tinggal di Eindhoven, juga menjual nasi kuning, urap, ayam tauco, ayam goreng, telor balado, hingga botok mlandingan atau petai Cina yang rasanya nikmat.
Menurut Azis, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag senantiasa aktif mendukung kegiatan budaya yang dilakukan berbagai Yayasan Seni Budaya di Belanda. “Mereka juga diundang tampil di acara tahunan Pasar Raya Indonesia, yang akan diselenggarakan awal September 2016,” tutur Azis.
NATALIA SANTI