TEMPO.CO, Reykjavik - Para ilmuwan di Islandia berhasil mengubah gas karbon dioksida (CO2) menjadi batu. Mereka menawarkan cara baru yang revolusioner untuk mengatasi perubahan iklim. Mereka, sebagaimana dilaporkan Channel News Asia, Jumat, 10 Juni 2016, memompa campuran gas itu jauh ke dalam tanah.
Karbon dioksida diketahui sebagai faktor kunci dalam pemanasan global dan para ahli telah lama menyerukan solusi "penangkapan dan penyimpanan karbon" (CCS). "Kita berurusan dengan meningkatnya emisi karbon. Ini teknik penyimpanan permanen, mengubah mereka menjadi batu," kata Juerg Matter, penulis utama studi itu.
Penemuan yang diterbitkan dalam jurnal Science itu menjadi proyek Carbfix di Hellisheidi Islandia—fasilitas energi panas bumi terbesar di dunia, penghasil energi bagi kota Reykjavik—yang berusaha memantapkan dan menyempurnakan usaha-usaha sebelumnya untuk memadatkan CO2.
Dikatakan bahwa awalnya karbon dioksida disuntikkan ke dalam tanah berpasir atau garam akuifer. Namun percobaan itu gagal. Media dikatakan masih mengandalkan batu untuk menahan gas dari bawah, yang memicu kekhawatiran akan timbulnya kebocoran.
Channel News Asia melaporkan, dalam percobaan perdana, gas CO2 dicampur air lantas dipompa ratusan meter ke bawah tanah hingga di lapisan batu basalt vulkanik. Di sanalah campuran itu dengan cepat berubah menjadi padat. Pabrik ini diketahui hanya memproduksi 40 ribu ton CO2 per tahun.
Pada 2012, perusahaan mulai memompa 250 ton CO2, dicampur dengan air ke dalam tanah. Dan 95 persen dari campuran yang disuntikkan ditemukan telah menjadi batu putih, seperti kapur, dalam waktu dua tahun. "Kejutan yang sangat menyenangkan," kata Edda Aradottir, yang mengepalai proyek Energi Reykjavik.
Didorong oleh keberhasilan, perusahaan telah meningkatkan proyek dan musim panas ini akan mengubur sekitar 10 ribu ton CO2 setiap tahun, kata Aradottir. "Ini berarti kita dapat memompa turun CO2 dalam jumlah besar dan menyimpannya dalam cara yang sangat aman," kata rekan penulis untuk studi Martin Stute, ahli hidrologi di Columbia University Earth Observatory.
"Nantinya, kita bisa memikirkan bagaimana menggunakan ini untuk pembangkit listrik di tempat-tempat lain," ujar Stute.
CHANNEL NEWS ASIA | MECHOS DE LAROCHA