TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah wartawan internasional yang bergabung dalam satu kelompok menyerukan kritik keras dan boikot terhadap presiden terpilih Filipina, Rodrigo Duterte, setelah baru-baru ini mengatakan banyak jurnalis yang tewas di Filipina "pantas mati". Banyak media lokal juga mengecam sambutannya.
Duterte mengatakan banyak wartawan di Filipina dibunuh karena perilaku korup dan suka menerima suap. Dalam konferensi pers, Selasa lalu, Duterte berujar, "Hanya karena Anda seorang jurnalis, (tidak berarti) Anda dibebaskan dari pembunuhan."
Jurnalis Tanpa Batas (RWB), komite perlindungan wartawan, mendesak media Filipina memboikot konferensi pers Duterte sampai ia mengeluarkan permintaan maaf resmi di hadapan publik, demikian laporan Asian Correspondent.
Komite menegaskan bahwa pernyataan Duterte yang terkesan memaafkan pembunuhan di luar hukum dapat menjadi pertanda bahwa Filipina akan menjadi ladang pembantaian bagi wartawan.
Pada Kamis, 2 Juni 2016, Federasi Jurnalis Internasional, yang berbasis di Filipina, juga mengutuk pernyataan Duterte. "Ini mengerikan bahwa presiden terpilih Rodrigo Duterte harus membenarkan pembunuhan wartawan di negeri ini dengan menggunakan isu korupsi."
Meskipun tidak menyangkal kemungkinan perilaku korupsi yang telah menjadi faktor di balik beberapa kasus pembunuhan, Federasi menyatakan tidak dapat dibenarkan mengambil kehidupan seseorang secara semena-mena. "Pembunuhan bukanlah lelucon. Begitu pun kebebasan pers."
Federasi kemudian mengingatkan Filipina sebagai negara kedua paling mematikan bagi jurnalis sejak 1990. Insiden yang paling diingat adalah pembunuhan massal yang dikenal sebagai pembantaian Maguindanao pada 2009, ketika 30 jurnalis dibantai akibat konflik perebutan jabatan gubernur di Maguindanao antara klan Ampatuan dan Toto Mangudadatu.
ASIAN CORRESPONDENT | MECHOS DE LAROCHA