TEMPO.CO, Manila - Sebuah kapal patroli Angkatan Laut Malaysia menahan tiga nelayan Filipina karena dianggap melewati batas wilayah di kawasan perairan sengketa Sparatly bulan ini. Keterangan tersebut disampaikan militer Filipina kepada awak media, Selasa, 24 Mei 2016.
"Ini insiden pertama yang melibatkan negara-negara tetangga di Asia Teggara," ujar sumber militer Filipina, Selasa.
Malaysia dan Filipina memiliki zona ekonomi eksklusif tumpang tindih atas wilayah perairan di daerah Laut Cina Selatan, yang dipercaya memiliki kekayaan minyak dan gas. Bahkan hampir seluruh wilayah di kawasan ini juga diklaim milik Cina.
Namun Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mengklaim perairan tersebut sebagai jalur perdagangan melalui laut dengan nilai US$ 5 triliun atau sekitar Rp 68.278 triliun setiap tahun.
Pada 9 Mei 2016, kapal nelayan Filipina berada di sekitar 18 mil laut atau 29 kilometer sebelah barat daya Commodore Reef, satu dari sembilan wilayah Filipina di perairan Laut Cina Selatan. Kapal patroli Malaysia pun mencegatnya karena dianggap melanggar batas wilayah.
Saat kapal itu mencoba kabur, kapal patroli Malaysia mengejar, lalu menahan para nelayan tersebut. “Beberapa jam berikutnya, mereka dikembalikan ke pos penjagaan Filipina yang berada di Commodore Reef,” kata juru bicara Angkatan Laut Filipina.
"Komandan Barat sedih atas insiden yang melibatkan sahabat-sahabat kami warga Filipina," kata Kapten Cherryl Tindog. Dia menambahkan, para nelayan itu mendapat layanan kesehatan. "Mereka dalam kondisi stabil, kecuali luka memar."
Tindog menjelaskan, para nelayan tersebu mendapat pukulan dan tendangan selama menjalani pemeriksaan oleh Angkatan Laut Malaysia setelah mereka ditangkap. "Kami diperlakukan seperti penjahat," tutur Neslon Plamiano, salah satu nelayan, kepada stasiun televisi GMA7.
Angkatan Laut Malaysia tidak segera memberikan tanggapan ketika dimintai komentar oleh wartawan.
Sejumlah pengamat mengatakan insiden pertama dilaporkan melibatkan Angkatan Laut Malaysia dan nelayan Filipina sejak meningkatnya ketegangan pada 2012 di Laut Cina Selatan, ketika Cina melecehkan nelayan Filipina dan Vietnam di Spratly.
Menurut pengamat hukum laut dari Universitas Filipina, Jay Batongbacal, penanganan Malaysia terhadap nelayan Filipina adalah sebuah pelanggaran kode etik yang diteken bersama di Kamboja pada 2012. "Kementerian Luar Negeri kami seharusnya berbicara kepada Malaysia mengenai insiden tersebut. Sebab, pemukulan terhadap nelayan bukan bagian dari kesepakatan," ucap Batongbacal.
CHANNEL NEWS ASIA | CHOIRUL AMINUDDIN