TEMPO.CO, Dhaka - Pemimpin partai Islam Bangladesh, Jamaat-e-Islami, Motiur Rahman Nizami, merupakan tokoh berpengaruh di negara mayoritas Islam Sunni itu.
Dalam struktur partai Islam terbesar di Bangladesh, Nizami menempati posisi tertinggi di partai dan orang keempat di pucuk pimpinan partai yang dieksekusi dalam pengadilan khusus yang digelar untuk kejahatan genosida, perkosaan, dan pembunuhan massal selama perang 1971.
Sekitar tiga juta orang tewas dibunuh, ribuan perempuan diperkosa saat pecah perang yang ikut menyeret Partai Islam pada 1971. Peristiwa itu merupakan kekerasan yang paling mengerikan yang pernah terjadi di Bangladesh.
Pembentukan pengadilan khusus kejahatan perang pada 1971 berpuncak pada keputusan pengadilan tertinggi Bangladesh Senin, 9 Mei 2016, yang menolak banding Nizami. Sidang perkara Nizami digelar sejak 2014.
Nizami menolak mengajukan permohonan pengampunan kepada presiden. Sehari setelah putusan banding ditolak pengadilan tertinggi Bangladesh, Nizami yang berusia 71 tahun dieksekusi dengan cara digantung. Eksekusi digelar menjelang tengah malam di penjara Kota Dhaka.
"Kami telah lama menantikan hari ini. Orang-orang akan mengenang hari ini selamanya," kata Menteri Dalam Negeri Asaduzzaman Khan, seperti dilansir Channel News Asia, Rabu, 11 Mei 2016.
Ratusan orang membanjiri jalan-jalan di Dhaka untuk merayakan eksekusi Nizami. "Kami sudah 45 tahun lamanya menunggu hari ini. Akhirnya, keadilan diberikan," ucap Akram Hossain, veteran perang.
Mereka yang ikut merayakan eksekusi Nizami berasal dari kelompok sekuler Bangladesh. Ketegangan antara kelompok sekuler dan kelompok antisekuler di Bangladesh semakin menguat akhir-akhir ini, ditandai oleh tewasnya orang-orang yang dianggap anti-Islam, di antaranya blogger, dosen bahasa Inggris, serta pendukung lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Sedangkan para pendukung Nizami melakukan aksi mogok nasional hari ini sebagai protes atas eksekusi pemimpin mereka. Mereka menyebut Nizami sebagai martir dan menuding pengadilan digelar hanya untuk motif politik.
Jauh sebelumnya, Perdana Menteri Sheikh Hasina yang membentuk pengadilan khusus kejahatan perang 1971 pada 2010 telah dihujani kritik para oposisi, termasuk Partai Islam, bahwa Hasina bermaksud menghabisi lawan politiknya.
CHANNEL NEWS ASIA | MARIA RITA