TEMPO.CO, Mindanao - Sekitar 55 juta rakyat Filipina berbondong-bondong ke bilik suara untuk mengikuti pemilihan presiden yang digelar hari ini, Senin pagi waktu setempat, 9 Mei 2016. Pesta demokrasi ini untuk pertama kalinya diikuti oleh warga di belahan selatan Mindanao.
"Hal ini sebagai sinyal bagus dari kebijaksanaan Presiden Benigno Aquino dan pusat kekuatan politik di Ibu Kota Manila," tulis Al Jazeera dalam laporannya, Senin.
Pemilihan presiden dilakukan serentak di seluruh wilayah Filipina pada pulul 06.00 pagi waktu setempat, Senin (22. GMT, Minggu) itu diikuti pula oleh Rodrigo Duterte, walikota vokal dari Kota Davao serta empat calon presiden lainnya.
Penantang terkuat Duerte adalah Grace Poe, anggota Senat yang sebelumnya menjadi warga negara Amerika Serikat. Sedangkan kandidat lainnya adalah Manuel Roxas II, mantan anggota Senat yang baru-baru ini mendapatkan dukungan dari Presiden Benigno Aquino.
Sementara calon Jejomar Binar, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden, dihadapkan pada tudingan korupsi. Adapun calon presiden kelima, Senator Miriam Santiago, tak banyak diperhitungkan.
Duerte, yang dituding terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan menyembunyikan kekayaan, bertekad melawan kejahatan dan korupsi di Filipina dalam setiap kampanyenya di depan konstituen.
Dia mengatakan, dirinya akan mendeklarasikan revolusi di pemerintahan jika kejahatan tidak dapat dipecahkan dalam masa enam bulan sejak menjabat sebagai presiden.
Janji Duerte dalam kampanyenya itu mendapatkan perhatian luas dari kalangan pengusaha dan pengamat politik seraya memperingatkan peran pemerintahan otokrasi seperti yang pernah terjadi di masa Ferdinand Marcos, presiden yang berkuasa selama 30 tahun.
Meskipun mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, namun Duerte sangat yakin terhadap program yang diusung. Duerte dikenal kerap berbicara kasar termasuk mengecam Paus Francis dan pernah mengancam bakal membakar bendera Singapura.
"Dia juga mengencam kebijaksanaan ekonomi selama enam tahun pemerintahan Presiden Aquino karena dianggap tidak menetes kepada rakyat," jelas Al Jazeera dalam laporannya.
Myrish Cadapan-Antonio, seorang pengacara FIlipina dan profesor di Kennedy School, Harvard, mengatakan kepada Al Jazeera, munculnya Duerte itu sebagai refleksi atas kecemasan masyakat terhadap pemerinhan Aquino dan bersatunya warga di selatan negara enentang kekuasaan Manila.
AL JAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN