TEMPO.CO, Manila - Jumlah kematian akibat kekerasan pemilihan umum di Filipina meningkat menjadi 10 orang. Dalam serangan terburuk, tujuh orang tewas ditembak dan seorang lainnya cedera ketika sebuah konvoi kendaraan disergap hanya beberapa jam sebelum tempat pemungutan suara dibuka untuk pemilihan umum nasional, Senin, 9 Mei 2016.
"Sekelompok orang bersenjata tak dikenal menembaki jip dan dua sepeda motor sebelum fajar di Kota Rosario, tepat di sebelah selatan Ibu Kota Manila," kata Kepala Inspektur Jonathan del Rosario.
Jonathan mengatakan motif serangan itu belum diketahui dan masih dalam tahap penyelidikan pihak kepolisian. Namun insiden yang terjadi di Provinsi Cavite tersebut telah diidentifikasi para pejabat pemilu sebagai sesuatu yang menjadi fokus perhatian karena persaingan politik yang panas.
Di Guindulungan, selatan Filipina, seorang pemilih tewas ditembak dan seorang pria lagi tewas akibat ledakan granat di pasar di Cotabato.
Dalam kejadian di wilayah Abra, yang terkenal akan politikus yang membunuh satu sama lain, pendukung calon dua wali kota saling menyerang dan menyebabkan seorang tewas dan dua orang terluka. Di Kota Sultan Kudarat, 20 pria bersenjata menyerbu tempat pemungutan suara dan melarikan mesin penghitung suara.
Pihak berwenang sebelumnya mengatakan 15 orang tewas dalam insiden terkait dengan pemilu sejak awal tahun ini. Tapi ada banyak kasus kekerasan lain yang belum sepenuhnya terkait dengan pemilu.
Jutaan warga Filipina diperkirakan memberikan suara pada Senin ini untuk memilih pemimpin baru, dari presiden hingga anggota dewan kota.
Kekerasan politik merupakan masalah berulang di negeri ini, didorong lemahnya penegakan hukum dan politik dinasti yang mengakar, sehingga membuat beberapa politikus di antaranya memiliki tentara pribadi sendiri.
CHANNEL NEWS ASIA | YON DEMA