TEMPO.CO, Riyadh – Kerajaan Arab Saudi terpaksa berutang US$ 10 miliar atau Rp 131,6 triliun untuk menutup defisit anggaran negara, menyusul anjloknya harga minyak mentah dunia.
Awalnya, pihak Saudi mendapatkan dana US$ 6 miliar dan US$ 8 miliar melalui pinjaman yang berlangsung selama 5 tahun. Pinjaman itu merupakan utang luar negeri pertama dalam satu dekade terakhir.
Kementerian Keuangan negara tersebut meningkatkan nilai pinjaman karena tuntutan yang signifikan.
Sejumlah sumber menyebutkan, utang itu akan ditandatangani sebelum akhir April dan dana pinjaman berasal dari sejumlah bank di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.
Sumber lain secara khusus menyebutkan bank-bank tersebut ialah JP Morgan, HSBC, dan Bank of Tokyo-Mitsubishi.
Masing-masing bank memberi pinjaman sekitar US$ 1,3 miliar, sementara sisanya berasal dari sumber lain.
JP Morgan dan HSBC menolak berkomentar tentang berita tersebut dan tak seorang pun dari pihak Bank of Tokyo-Mitsubishi yang bisa dimintai keterangan.
Dari pihak bank sentral atau Kementerian Keuangan, bank Saudi pun tak menyampaikan pernyataan.
Minat memberikan pinjaman ke Arab Saudi tetap tinggi meski rating kredit jangka panjang negara itu telah diturunkan dari AA ke AA- oleh agensi rating, Fitch Ratings, pekan lalu. Rating diturunkan setelah ketegangan antara Arab dan Iran meninggi, serta kebijakan ekonomi negara yang semakin tak pasti.
Harga minyak dunia menurun drastis dari di atas US$ 100 pada awal 2014 menjadi hanya sedikit di atas US$ 40 hari ini.
Penurunan harga tersebut memaksa Arab Saudi memotong anggaran 2016 dengan proyeksi defisit sebesar US$ 87 miliar dan mendorong diversifikasi ekonomi.
Sebesar 73 persen dari pendapatan Arab Saudi 2015 berasal dari penjualan minyak, yang dalam beberapa dekade sebelumnya mencapai 90 persen. (CS/Rizal)