TEMPO.CO, Yangon - Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, berjanji mendorong amandemen konstitusi guna membangun sebuah demokrasi sejati setelah beberapa dekade dikontrol militer.
Suu Kyi membuat komentar dalam pidato televisi nasional untuk menandai awal tahun baru Buddha, menyoroti harapannya untuk masa depan dan tugas-tugas sulit di masa depan bagi pemerintah barunya.
"Kebijakan dan prinsip kami adalah untuk memastikan rekonsiliasi nasional, perdamaian internal, aturan hukum, dan menjaga sistem demokrasi yang dinamis. Kita perlu amandemen konstitusi," kata Suu Kyi, seperti yang dilansir Business Insider, Senin, 18 April 2016.
Kekuatan Suu Kyi untuk mengubah konstitusi masih akan mendapat perlawanan dari militer, yang masih mempertahankan kekuasaan yang cukup besar dalam pemerintahan dan parlemen.
Dalam kabinet, militer mengepalai Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, dan Departemen Urusan Perbatasan. Selain 25 persen kursi di parlemen untuk perwira militer, kelompok ini diperkirakan akan membuat pemerintah tidak mengubah konstitusi tanpa persetujuan militer.
Namun Suu Kyi telah berulang kali mengatakan konstitusi saat ini ditulis selama era pemerintahan militer. Jadi konstitusi tersebut harus direvisi sehingga negara dapat bergerak maju.
Partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, menang telak dalam pemilihan November 2015, mengantarkan pemerintahan sipil pertama negara itu setelah 54 tahun dikuasai militer.
Suu Kyi adalah tokoh politik paling populer di negara itu tapi tidak mampu menjadi presiden karena klausul dalam konstitusi yang melarang siapa pun yang memiliki pasangan atau anak keturunan warga asing menjadi presiden.
Untuk menyiasati klausul itu, Suu Kyi memilih teman kepercayaan lamanya, Htin Kyaw, untuk menjadi presiden. Salah satu tindakan pertama pemerintahan Kyaw setelah mengambil kekuasaan pada akhir Maret lalu adalah memberi Suu Kyi posisi yang baru dibuat. Posisi itu disebut penasihat negara yang mirip dengan peran perdana menteri.
BUSINESS INSIDER CTV | YON DEMA