TEMPO.CO, Bagdad - Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, memperingatkan para politisi di parlemen bahwa krisis politik yang menimpa negeri itu bakal menguntungkan kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Krisis politik di Irak merebak pada pekan ini menyusul kegagalan parlemen menggelar dua kali pemungutan suara atas rencana pemerintah Abadi melakukan reshuffle kabinet sebagai bagian dari program pemerintahannya yang anti-korupsi.
Puncak krisis itu diwarnai dengan perkelahian melibatkan anggota parlemen pada Rabu, 13 April 2016, sehari setelah mereka gagal mengadakan pemungutan suara. Kericuhan itu muncul kembali di gedung parlemen pada Kamis, 14 April 2016, ketika pemungutan suara kedua gagal digelar. Selanjutnya hampir seluruh anggota parlemen berteriak-teriak agar ketua parlemen diganti.
"Konflik ini telah melumpuhkan parlemen dan menghambat tugas pemerintah membebaskan kota dan desa dari penguasaan ISIS," ujar Abadi dalam sebuah pernyataan yang disampaikan pada Kamis dinihari waktu setempat, 14 April 2016.
Sebelumnya, Abadi mengumumkan bahwa pemerintahannya melakukan perombakan kabinet pada Februari 2016 setelah mendapatkan tekanan dari ulama mayoritas Syiah Irak.
Pada perombakan tersebut, Abadi mengusulkan kursi menteri diisi oleh tehnokrat untuk menggantikan tiga orang menteri. Menurut Abadi, para menteri sebaiknya tidak berdasarkan aliansi partai politik, kekayaan, atau sistem patron setelah jatuhnay Saddam Hussein pada 2003.
Abadi selanjutnya menyusun daftar calon menteri yang diusulkan oleh partai politik yang memiliki kursi di parlemen. Namun susunan tersebut mendapatkan kecaman dari parlemen karena mereka dianggap tidak terbebas dari korupsi.
REUTERS | CHOIRUL AMINUDDIN