TEMPO.CO, Paris - Sebuah pernyataan mengejutkan datang dari Menteri Hak Asasi Perempuan Prancis Laurence Rossignol ketika diwawancarai media Prancis. Dia membandingkan perempuan berjilbab dengan kaum Negro di Amerika yang menerima perbudakan. Keduanya dianggap pasrah begitu saja pada nasib.
Komentar Rossignol yang disampaikan kepada radio RMC dan BFM TV dalam sebuah percakapan itu memicu protes dari pengguna media sosial, Rabu, 30 Maret 2016. Mereka menuding Rossignol mengumbar paham rasis dan mendesak dia mengundurkan diri melalui sebuah petisi.
"Dalam beberapa jam, petisi tersebut diteken 10 ribu orang," tulis Al Jazeera.
Rossignol adalah tamu dalam program diskusi dengan tema tentang industri pakaian muslim. Beberapa saat kemudian seusai percakapan tersebut, dia meralat kata "Negro", karena hal itu dikatakan sebagai sebuah kesalahan.
Prancis memiliki kaum minoritas muslim terbesar di Eropa dan menerapkan hukum mengenai penggunaan simbol-simbol agama di depan publik yang sangat ketat. Salah satunya pelarangan mengenakan jilbab yang dilaksanakan pada 2011.
Pada kesempatan wawancara di beberapa tempat, Menteri Rossignol dikabarkan mengritik orang-orang yang membuat pakaian burkini, yakni model pakaian renang dengan bentuk menutup seluruh tubuh, mulai kepala, lengan, hingga kaki. Menurut dia, model tersebut "tidak bertanggung jawab".
Menurut laporan State of the Global Islamic Economy Report, 2015-2016, konsumen muslim menghabiskan uang US$ 230 miliar atau sekitar Rp 3.045 triliun untuk belanja pakaian. Jumlah itu akan naik hingga US$ 327 miliar atau sekitar Rp 4.329 triliun pada 2019.
Angka tersebut, menurut survei lembaga itu, jauh lebih besar bila dibanding uang yang dibelanjakan untuk membeli beragam pakaian di Inggris sebesar Rp 1.416 triliun, Jerman (Rp 1.320 triliun), dan India (Rp 1.270 triliun).
Awal tahun ini, rumah mode Italia, Dolce & Gabbana, meluncurkan abaya baru dan koleksi jilbab yang ditujukan kepada perempuan muslim.
AL JAZEERA | CHOIRUL AMINUDDIN