TEMPO.CO, Lahore - Dua bom secara simultan menggoyang Pakistan pada Ahad petang, 27 Maret 2016, menewaskan sedikitnya 72 orang dan melukai lebih dari 300 korban lain. Kelompok garis keras, Jamaat-ul-Ahrar, mengaku bertanggung jawab atas ledakan bom yang menyasar umat Kristen yang sedang merayakan Paskah di Taman Gulshan-e-Iqbal.
Pada hari yang sama, ribuan pendukung Mumtaz Qadri, ekstremis yang dihukum gantung bulan lalu karena membunuh bekas gubernur, menyerbu Ibu Kota Islamabad dan bentrok dengan petugas kepolisian di luar gedung parlemen.
Mereka berunjuk rasa memprotes hukuman yang dijatuhkan kepada Qadri. Mereka juga menuntut diberlakukannya hukum syariah. Situasi ini membuat pemerintah meminta bantuan militer guna menghalau pengunjuk rasa yang bertahan di depan gedung parlemen.
Menurut para pengamat, dua kejadian itu, yakni ledakan bom dan tuntutan pengunjuk rasa penerapan syariah Islam, memiliki kaitan. Pakistan, negeri yang memiliki senjata nuklir, dikhawatirkan jatuh ke tangan kelompok garis keras. Upaya pemerintah Pakistan memberangus terorisme sejauh ini dianggap gagal, meskipun diklaim bahwa operasi militer yang kini sedang berlangsung berhasil mengalahkan Taliban dan kelompok militan lain.
Serangan mematikan di Lahore adalah salah satu strategi kaum radikal. Adapun Kota Lahore merupakan salah satu benteng pertahanan Perdana Menteri Nawaz Sharif sekaligus tempat paling aman di negara itu.
"Kami ingin mengirimkan pesan kepada Perdana Menteri Nawaz Sharif bahwa kami telah memasuki Lahore," kata Ehsanullah Ehsan, juru bicara kelompok militan Jamaat-ul-Ahrar, dalam sebuah pernyataan, Ahad.
Serangan yang menghantam Lahore dan Islamabad itu sebagai sinyal kuat yang dikirim kelompok militan bahwa mereka dapat menyerang kawasan mana pun serta kapan pun di Pakistan, dan pemerintah tidak sanggup menghentikannya.
DW | CHOIRUL AMINUDDIN