TEMPO.CO, Jakarta - Bagi sejumlah kalangan pelaksanaan dan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dirasa masih kurang. Diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas agama tertentu masih terjadi. Namun Komisioner HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau OIC Independent Permanent Human Rights Commission’s (IPHRC) asal Indonesia, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin mengungkapkan situasi HAM di negeri ini jauh lebih baik dari negara-negara Islam lain.
Banyak hal seperti hubungan masyarakat madani dengan pemerintah, yang biasa dilakukan di negeri ini, menjadi hal yang langka bahkan tidak mungkin terjadi di negara-negara OKI.
Ditemui usai Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI di Jakarta, Senin lalu, kepada wartawan Tempo, Natalia Santi, mantan Ketua pertama IPHRC ini berharap agar Komisi diberi mandat perlindungan agar dapat bekerja lebih efektif. Berikut petikan wawancaranya:
Sejauh mana pembahasan HAM di KTT Luar Biasa OKI kemarin?
Kita sebetulnya menyiapkan pernyataan, tapi tidak sempat dibacakan. Dalam pernyataan IPHRC menyarankan boikot, divestasi dan sanksi di seluruh dunia terhadap produk dari pemukiman Israel.
Kesimpulannya, Komisi akan terus berupaya menyoroti pelanggaran HAM Israel di Palestina dan siap bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mengakhiri penjajahan Israel di Palestina, yang menjadi akar masalah seluruh pelanggaran HAM dan penderitaan rakyat Palestina.
Kalau Komisi HAM OKI ini, kapan terbentuk?
Komisi HAM OKI digagas pada KTT Luar Biasa Ketiga di Mekkah pada 2005. Komisi baru diresmikan dengan adopsi statuta pada Sidang Dewan Para Menteri Luar Negeri (CFM) ke-38 di Astana, Kazakhstan pada 2011. Pada waktu itu Sekjennya Profesor Eklemeddin Ihsanoglu menyatakan pembentukan komisi HAM adalah salah satu proses moderasi dan modernisasi OKI.
Tujuan pembentukannya dulu untuk apa?
Melalui moderasi dan modernisasi, OKI memperhatikan masalah yang aktual, salah satunya hak-hak asasi manusia. Meskipun yang ditekankan adalah HAM di dalam negara-negara OKI sendiri. Sifatnya bukan mengutuk negara lain. Masing-masing negara OKI menominasikan dua orang. Kemudian terpilih 18 orang.
Apa saja tanggung jawab para Komisioner HAM OKI?
Mempromosikan HAM di negara-negara anggota OKI. Selain itu menjadi think tank CFM dan perwakilan OKI di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menggodok isu-isu HAM.
Pak Ihsanoglu ingin agar pendekatan OKI terhadap HAM tidak vis a vis Barat. Tapi ada nilai-nilai pemahaman, resiproksitas, dan konstruktif. Contohnya, Resolusi Majelis Umum PBB 1618 soal Combating Intelorance in Person Base on Religion, yang disponsori OKI. Resolusi itu kemudian disepakati oleh seluruh anggota Majelis Umum PBB. Lalu diimplementasikan menjadi Istanbul Process, yang berisi langkah-langkah bagaimana resolusi itu bisa diterapkan di lapangan.
Jadi kita tidak lagi vis a vis. Kita melihat komunalitis. Prinsip-prinsip universal diperbesar. Kita memperkecil perbedaan dan memperbesar persamaan.
Apa saja yang menjadi standing issues di Komisi HAM OKI?
Yang kita inginkan dan belum terealisasi sejak tiga tahun lalu adalah mengunjungi Palestina. Entah Ramallah atau Gaza. Tapi Israel tidak memberi izin. Sampai sekarang. Kalau tidak ada good sign dari Israel, kita akan mengundang civil society dari Palestina ke Yordania, September atau Oktober nanti.
Apakah hanya isu Palestina?
Standing issue lainnya adalah perempuan dan anak-anak. Pada isu ini, semua negara OKI punya masalah. Termasuk Indonesia. Misalnya perkawinan di bawah umur. Saat ini saya menjadi ketuanya, karena yang lain ngak ada yang berani. Ya wis, saya ambil. Kita membicarakan hak perempuan dan hak anak.
Ada perkembangan yang baik mulai dibahas. Arab Saudi kini punya Undang-undang Anti Kekerasan Domestik. Selain itu, hak memilih untuk perempuan, meski baru di Riyadh dan beberapa kota. Ada pula penasihat raja soal kesejahteraan perempuan. Profesi-profesi tertentu yang dulu diharamkan seperti dokter, dan pengusaha, kini dibolehkan. Kalau kita ke Jeddah, hal ini terasa.
Masalah lain yang jadi perhatian adalah Islamophobia. Saya menyatakan Islamophobia harus dibahas secara resiproksitas. Harus diimbangi dengan hak-hak minoritas non-muslim di negara-negara muslim. Hanya Indonesia yang berani ungkapkan hal ini.
Bagaimana kondisi HAM negara-negara OKI dibandingkan Indonesia?
Ketika sidang pertama digelar di Indonesia pada 2012, mereka sangat terkesan. Terutama bagaimana Indonesia mampu mengkombinasikan Islam dengan modernitas. Salah satunya, menerapkan HAM dalam konteks Islam.
Contoh lain misalnya, dalam statuta pembentukan Komisi terdapat mandat untuk berkonsultasi dengan komisi nasional di negara masing-masing. Banyak yang tidak berani melakukan itu. Pada 2012, sesi pertama itu, mereka melihat komunikasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Mereka sangat terkesan dan kagum. Kok Indonesia bisa? Secara psikologis, banyak negara-negara Islam yang belum siap.
Ada banyak hal Indonesia jauh lebih maju. Ketika ditanya dalam isu HAM yang masih mengganjal di negara-negara OKI, banyak yang sudah bukan masalah lagi di Indonesia. Indonesia menjadi model HAM di negara-negara OKI. Karena itu tantangan kita adalah untuk terus meningkatkan performa. Sebagai panutan, kita tidak boleh mundur.
Sejak 2012, apa yang sudah dicapai Komisi HAM OKI?
Komisi ini masih bayi. Statuta hanya memberikan mandat untuk mempromosikan bukan perlindungan. Situasi HAM di negara-negara anggota OKI masih bertumbuh. Baru menata diri. Kita baru mempromosikan kesadaran, belum pada perlindungan atau mengawasi. Sebagai komisioner HAM saya menyadari hal ini sangat penting dan telah menyampaikan ke Sekjen bahwa suatu hari nanti Komisi HAM OKI juga harus punya peran perlindungan.
Bagaimana masa depan Komisi HAM OKI ?
Tantangan kita adalah tidak adanya hak perlindungan. Seperti di Komisi HAM Afrika. Akan lebih efektif bagi Komisi jika dapat mengawasi pelaksanaan HAM di negara-negara OKI. Itu harapan para komisioner. Sekarang kan hanya mempromosikan, mengingatkan, dan mengeluarkan imbauan. ***
Profil
Nama: Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA
Tempat, tanggal, lahir: Blora, 17 Mei 1963
Jabatan saat ini: Koordinator Gugus Tugas Hak-hak Wanita dan Anak-anak, Komisi HAM, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) 2014-2018.
Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2015-2019
Direktur Kalijaga Institute for Justice (2015-2017)
Ketua HAM OKI 2012-2014
Pendiri dan Ketua Dewan Pusat Krisis Perempuan Rifka Annisa, Yogyakarta 1995-2011
Anggota International Coalition Against Trafficking in Women 1995-2005
Anggota Dewan Pusat Kajian HAM UIN Yogyakarta 2009-2011