TEMPO.CO, Manila - Sedikitnya enam orang tewas dan lebih dari 20 ribu warga sipil mengungsi selama pertempuran berlangsung antara pasukan keamanan Filipina dan kelompok militan pemberontak Islam di Filipina selatan yang telah berlangsung satu minggu.
Tiga tentara pemerintah dan tiga gerilyawan dikonfirmasi tewas dalam bentrokan yang melibatkan pengikut kelompok Jemaah Islamiyah, yang diduga berafiliasi dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Baca juga: Filipina Periksa Pilot Usai Ucapkan Kata Ini ke Penumpang
"Terjadi balas-membalas tembakan dan tembakan artileri," kata juru bicara militer, Kolonel Noel Detoyato, menggambarkan pertempuran yang dimulai pada Sabtu, 20 Februari 2016, dengan serangan terhadap sebuah pos militer.
Seperti dilansir Channel News Asia pada 26 Februari 2016, komandan distrik militer daerah tersebut, Kolonel Roseller Murillo, mengatakan 61 milisi diyakini tewas. Meskipun hanya tiga mayat yang baru ditemukan. Murillo dan pejabat militer lainnya mengatakan mereka tidak memiliki bukti kuat untuk mengkonfirmasi 58 kematian lainnya yang dilaporkan intelijen.
Baca juga: Uni Eropa Desak Embargo Senjata untuk Arab Saudi
Pertempuran berlangsung di sekitar Butig, sebuah kota kecil yang dikelilingi pegunungan berhutan lebat. Wilayah tersebut merupakan basis kelompok separatis Islam terbesar, Front Pembebasan Islam Moro (MILF). Namun MILF tidak bergabung dalam pertempuran itu. Sebaliknya, MILF membantu sekitar 8.000 penduduk yang meninggalkan kediaman mereka ketika pertempuran dimulai pada 20 Februari lalu.
Pihak berwenang mengatakan kelompok yang terlibat dalam bentrokan adalah pengikut Ustad Sanusi, anggota Jemaah Islamiyah asal Indonesia yang tewas di Filipina selatan pada 2012.
Baca juga: Bagaimana Bedak Johnson & Johnson Dituding Pemicu Kanker?
Pemberontakan separatis telah terjadi selama lebih dari empat dekade di Mindanao dan bagian lain dari Filipina selatan. Peristiwa ini menewaskan lebih dari 120 ribu orang.
Pemerintah Filipina menandatangani perjanjian damai dengan MILF pada Maret 2014 untuk mengakhiri konflik selama 45 tahun. Konflik ini menyebabkan dua juta orang kehilangan tempat tinggal, selain pertumbuhan ekonomi di wilayah selatan yang miskin tapi kaya sumber daya alam.
CHANNEL NEWS ASIA | YON DEMA