TEMPO.CO, Johannesburg - Ratusan keluarga kulit putih Afrika Selatan hidup dalam kemiskinan setelah negeri itu bebas dari rezim apartheid. Mereka tinggal di daerah kumuh, mengingatkan pada hari-hari terburuk dari zaman Apartheid.
Di tempat mereka, dijuluki 'kamp liar kulit putih', ratusan keluarga tidak memiliki kekuatan, nyaris tanpa makanan atau air dan harus tinggal di penampungan yang buruk. Kamp, yang dapat ditemukan di seluruh negeri, dianggap sebagai akibat langsung dari kemiskinan warga kulit putih setelah Apartheid berakhir 22 tahun lalu.
Sebagaimana dilansir dari laman Metro.co.uk, Kamis, 25 Februari 2016, dikatakan di bawah rezim supremasi kulit putih, yang berakhir pada 1994, para warga Afrika Selatan kulit putih - disebut Afrikaner - selalu dijamin pekerjaan dan perumahan. Tapi sekarang, banyak dari mereka hidup dalam kondisi mengenaskan karena keadaan ekonomi yang mengerikan di era pasca-Apartheid. Di seluruh Afrika Selatan, terdapat sedikit kesempatan kerja untuk Afrikaner.
Jumlah pasti dari para Afrikaner masih diperdebatkan, namun diyakini terdapat 400 ribu orang yang kini tinggal di kamp-kamp kumuh. Foto-foto yang dilansir di laman Metro.co.uk, diambil dari majalah budaya Union Magazine, menunjukkan kamp liar kulit putih Munsieville, dekat Johannesburg.
Munsieville, salah satu dari 80 kamp yang menyebar di Afrika Selatan, dibangun di lokasi bekas tempat sampah dan merupakan rumah bagi sekitar tiga ratus Afrikaner - seperempatnya adalah anak-anak. Tempat itu ilegal, tidak ada listrik, tidak ada air, tidak ada bangunan yang aman dan makanan sulit didapat.
Warga di Munsieville mampu menghindari hukum dengan membangun tempat penampungan kecil tanpa fondasi, karena pemerintah melarang bangunan permanen didirikan. Kebanyakan tempat tinggal terbuat dari kayu atau papan besi, dengan lantai tanah.
Rumah sakit akan menolak warga kamp yang membutuhkan perawatan dan mereka sering ditolak saat menjalani wawancara kerja.
Henrik, 49 tahun, mengatakan hidupnya telah selesai sejak dia tinggal di kamp. "Hidupku tamat, aku berusia 49 tahun dan aku sudah terlalu tua untuk mendapatkan pekerjaan. Aku melamar dan segera setelah mereka melihat usiaku, mereka mengatakan 'maaf, Anda terlalu tua'," ujar pria tersebut.
"Aku melakukan apa yang aku bisa untuk bertahan hidup, mengumpulkan besi tua atau menjual pakaian bekas. Tapi itu tidak cukup."
Leigh Du Preez, yang bekerja untuk lembaga amal Proyek Bantuan Keluarga Afrika Selatan (SAFRP), mengatakan, orang-orang di kamp memiliki sedikit kesempatan untuk menemukan pekerjaan. "Segera setelah mereka membaca lamaran Anda dan melihat Anda berasal dari kamp liar kulit putih, mereka menolak Anda. Sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan jika majikan tahu Anda tinggal di salah satu kamp."
METRO.CO.UK | MECHOS DE LAROCHA