TEMPO.CO, Jakarta - Dua staf kedutaan Serbia yang telah disandera sejak November tahun lalu tewas pada Jumat, 20 Februari 2016, saat pasukan angkatan udara Amerika Serikat menyerang markas anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di bagian barat Suriah.
Penyerangan ini menyebabkan puluhan orang tewas, di antaranya Sladjana Stankovic, petugas komunikasi, dan seorang supir Jovica Stepic. Mereka disandera saat konvoi diplomatiknya bersama duta besar diserang di dekat pesisir Sabratha.
“Rupanya, Amerika tidak menyadari bahwa ada warga asing yang disandera di sana," kata Perdana Menteri Serbia Aleksandar Vucic saat konferensi pers di Belgrade, sebagaimana dilansir Guardian, Sabtu, 20 Februari 2016.
Menteri Luar Negeri Ivica Dacic pada konferensi pers sebelumnya mengatakan, kabar tentang kematian dua warganya itu telah disampaikan ke Serbia oleh para pejabat. Tapi, saat itu pemerintah Libya belum memberikan konfirmasi. “Kami mendapatkan informasi, termasuk foto yang jelas menunjukkan bahwa kabar ini kemungkinan benar,” kata dia.
Pesawat tempuri F-15E milik Amerika menyerang sebuah kamp pelatihan di pedesaan Libya dekat perbatasan Tunisia pada Jumat, 19 Februari dan menewaskan puluhan orang. Operasi ini dijalankan lantaran ISIS dianggap bertanggung jawab atas serangan mematikan yang terjadi di Tunisia tahun lalu.
Dacic mengatakan, pemerintah Serbia sebenarnya telah mengetahui keberadaan para sandera dan sedang mengupayakan pembebasan mereka. Demi membebaskan sandera itu, tuturnya, tentara Libya sudah mempertimbangkan operasi pembebasan sandera.
Sayangnya, serangan terhadap ISIS di Libya membuat pemerintah Serbia gagal menyelamatkan nyawa Sladjana dan Jovica. Dacic akan segera mencari penjelasan resmi dari kedua negara, Libya dan Amerika Serikat, tentang fakta-fakta yang ada dan prosedur pemilihan target.
GUARDIAN | AHMAD FAIZ.