TEMPO.CO, Kairo - Mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Boutros Boutros-Ghali meninggal dalam usia 93 tahun pada Selasa, 16 Februari 2016.
Boutros, seperti dikutip dari BBC, Rabu, 17 Februari 2016, menderita patah tulang panggul. Belum ada informasi lebih detail tentang penyebab kematian Boutros.
Media Mesir menjelaskan Boutros sempat menerima telepon dari Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi saat dirawat di rumah sakit kemarin.
Dewan Keamanan PBB hening selama satu menit untuk menyatakan duka atas kematian Boutros-Ghali. Saat itu, 15 anggota Dewan Keamanan PBB tengah memulai pembahasan krisis kemanusiaan di Yaman.
Boutros menjabat sebagai Sekjen PBB pada 1992. Ia menempati jabatan Sekjen PBB selama lima tahun.
Boutros merupakan orang Arab pertama yang menjabat sebagai Sekjen PBB, termasuk Sekjen PBB yang hanya bertahan selama satu periode.
Pada masa awal kepemimpinannya, Boutros secara aktif mengatasi Perang Teluk. Berbagai masalah terjadi pada saat itu, seperti krisis di Somalia, konflik Rwanda, Timur Tengah, hingga konflik di negara bekas pecahan Yugoslavia, yakni Bosnia.
Kontroversi mengikuti Boutros selama menjabat Sekjen PBB. Boutros dihujani kritik atas kegagalan PBB mencegah terjadinya genosida di Rwanda tahun 1994.
Amerika Serikat marah atas sikap oposisi Boutros terhadap NATO dalam perang di Bosnia. PBB pun dianggap gagal mencegah perang berkecamuk di Angola.
Dihujani kritik selama menjabat Sekjen PBB, Boutros meninggalkan warisan yang saat ini diteruskan oleh penggantinya, Ban Ki-moon. Boutros menekankan pentingnya pembentukan semacam upaya perdamaian pascakonflik.
Boutros lahir pada 14 November 1922 di Kairo, Mesir. Ia penganut Kristen Koptik. Boutros mengecap pendidikan di Universitas Kairo dan di Paris, serta lulus studi hubungan internasional di Universitas Columbia di New York.
Sebelum menempati posisi sebagai Sekjen PBB, Boutros menjabat Menteri Luar Negeri Mesir di masa pemerintahan Anwar al-Sadat. Ia aktif melakukan negosiasi perdamaian antara Mesir dan Israel yang menghasilkan kesepakatan Camp David tahun 1978. Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter menjadi penengah dalam penyelesaian perdamaian kedua negara itu.
BBC | MARIA RITA