TEMPO.CO, Kairo - Presiden Universitas Kairo Gaber Nassar, Senin, 15 Februari 2016, memutuskan melarang semua perawat dan dokter mengenakan niqab, menutup seluruh wajahnya atau bercadar, di Sekolah Kedokteran Qasr Al-Aini (QAMS) dan cabang-cabangnya.
Keputusan ini diberlakukan pula terhadap para perawat, dokter, spesialis, konsultan, asisten teknisi, dan seluruh staf akademikus di rumah sakit Qasr Al-Aini. "Keputusan pelarangan ini diberlakukan kepada mereka yang mengenakan niqab selama jam kerja untuk menjamin hak dan kepentingan pasien," demikian bunyi pernyataan pihak pengelola rumah sakit.
Mengomentari keputusan tersebut, Dekan Sekolah Kedokteran Al-Qasr Al-Aini, Fathy Khoudier, mengatakan jumlah dokter dan perawat perempuan yang mengenakan niqab terbatas. Pihak rumah sakit akan melaporkan jumlahnya kepada pengelola Universitas Kairo.
"Keputusan ini benar-benar demi kepentingan pasien dan menjamin hak mereka mengetahui siapa yang mengobatinya," kata Khoudier dalam pernyataan pers.
Senada dengan Khoudier, manajer Rumah Sakit Pengajaran Universitas Kairo, yang dikenal pula sebagai Qasr Al-Aini Al-Faransawy, Nabil Abdel-Maksoud, memuji keputusan tersebut seraya mengatakan keputusan itu bagus bagi pasien untuk mengetahui identitas dokter yang merawatnya.
"Keputusan yang diambil oleh universitas ini dalam rangka melestarikan sifat pekerjaan di rumah sakit karena setiap wanita yang mengenakan niqab dapat meniru seorang dokter atau perawat," kata Abdel Maksoud.
Abdel Maksoud mengatakan kepada koran Youm7, rumah sakit Al-Qar Al-Aini Al-Faransawy tidak memiliki dokter atau perawat yang mengenakan niqab.
Pada September 2015, Nassar memutuskan pelarangan staf pengajar perempuan dan asistennya mengenakan niqab di ruang kelas, karena ada keluhan bahwa staf yang mengenakan niqab komunikasinya kurang bagus dengan mahasiswa. Keputusan ini ditetapkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara pada Januari 2016.
Nassar mengklaim bahwa hanya sepuluh guru besar di Universitas Kairo yang mengenakan niqab, tapi apa yang disampaikan Nassar itu dibantah kalangan internal kampus. Menurut para akademikus kampus, keputusan tersebut dianggap rasis dan penyampaian ilmu pengetahuan tidak hanya tergantung kepada ekspresi pengajar di depan mahasiswa.
"Masih banyak cara yang lebih baik berkomunikasi dengan mahasiswa, termasuk komunikasi verbal maupun nonverbal," kata staf pengajar yang tak bersedia disebutkan namanya.
Ahmed Mahran, seorang pengacara dan Kepala Cairo Center for Political and Legal Studies, mengatakan dia aka mengajukan gugatan atas keputusan tersebut karena melanggar konstitusi, terutama pada pasal kebebasan pribadi dan hak perempuan memutuskan mengenakan pakaiannya.
EGYT INDEPENDENT | CHOIRUL AMINUDDIN