TEMPO.CO, Washington - Presiden Barack Obama berada dalam tekanan karena beberapa petinggi keamanan nasionalnya menyetujui penggunaan kekuatan militer Amerika Serikat di Libya untuk menghadapi kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Perdebatan antara Obama dan para pembantunya berlangsung sejak pekan lalu dan belum menemukan titik temu. "Gedung Putih harus memutuskan," kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri yang berbicara dengan syarat anonim untuk membahas musyawarah internal. "Kasus ini telah dibicarakan oleh hampir setiap departemen," ujarnya, seperti diberitakan New York Times, 4 Februari 2016.
Obama, yang mewaspadai terjadinya intervensi di negara yang tengah dilanda berbagai perselisihan itu, hanya meminta kepada para pembantunya untuk melipatgandakan upaya membantu pembentukan pemerintahan di Libya.
Saat ini Pentagon, melalui pasukan Operasi Khusus, tengah melakukan berbagai upaya melawan ISIS di wilayah Suriah timur lewat serangan udara, serangan komando, atau melatih milisi Libya di daratan. Penggunaan pasukan darat dalam jumlah besar tidak termasuk dalam pertimbangan.
Jumlah milisi ISIS di Libya, pejabat Pentagon mengatakan, telah berkembang antara 5.000 dan 6.500 milisi. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat dari perkiraan analis pemerintah yang diungkapkan musim gugur lalu.
Daripada menuju Irak atau Suriah, banyak anggota ISIS yang baru direkrut dari seluruh Afrika Utara tetap berada di Libya, di markas militan di sepanjang lebih dari 150 mil dari garis pantai Mediterania dekat Surt, kata para pejabat tersebut.
Pimpinan ISIS di Suriah bahkan dilaporkan telah mengirimkan setengah lusin petinggi berpangkat letnan ke Libya untuk membantu membentuk apa yang para pejabat Barat perkirakan sebagai delapan kelompok afiliasi global paling berbahaya.
Dalam beberapa bulan terakhir, tim Operasi Khusus Amerika Serikat dan Inggris telah meningkatkan misi pengintaian di Libya untuk mengidentifikasi para pemimpin militan dan memetakan jaringan mereka untuk mengantisipasi kemungkinan serangan.
NEW YORK TIMES | MECHOS DE LAROCHA