TEMPO.CO, Tokyo - Lima wanita telah menggugat pemerintah Jepang di pengadilan karena mengharuskan istri mengadopsi nama yang sama sebagai nama keluarga.
Para wanita mengatakan aturan tersebut inkonstitusional dan melanggar hak-hak sipil pasangan menikah. Mereka menuntut kompensasi. "Dengan kehilangan nama Anda, Anda tidak dihormati. Seolah-olah bagian dari diri Anda hilang," kata Kaori Oguni, penerjemah dan satu dari lima perempuan yang terlibat dalam gugatan.
Laman Guardian, Jumat, 11 Desember 2015, mengatakan hukum 1896 Jepang mengharuskan pasangan wanita mengadopsi nama yang sama saat mendaftarkan pernikahan. Hukum tidak menentukan nama siapa. Tapi, dalam prakteknya, 96 persen wanita mengambil nama suami mereka, refleksi dari masyarakat yang didominasi pria Jepang.
Partai Konservatif menolak mengubah aturan yang mengatakan pasangan yang dimungkinkan memilih apakah berbagi nama yang sama atau tidak dapat merusak ikatan keluarga dan mengancam masyarakat. "Nama adalah cara terbaik untuk mengikat keluarga," kata Masaomi Takanori, seorang sarjana hukum, kepada stasiun televisi NHK.
"Membiarkan nama keluarga yang berbeda berisiko merusak stabilitas sosial, pemeliharaan ketertiban umum, dan dasar untuk kesejahteraan sosial," ujarnya.
Namun komentar lain mengatakan ini merupakan saat untuk perubahan. "Dunia ini lebih berorientasi individu sekarang," kata Shunsuke Serizawa, aktivis gender dan keluarga.
Dikatakan, beberapa pasangan memilih tidak mendaftarkan pernikahan agar dapat menjaga nama mereka. Salah seorang yang melakukannya adalah tokoh oposisi partai Sosial Demokrat, Mizuho Fukushima, dan pasangannya.
Menghadapi dilema tersebut, publik Jepang tebelah. Sebuah jajak pendapat oleh koran Asahi Shimbun bulan lalu menemukan 52 persen mendukung pilihan bebas atas nama dan 34 persen menolak. Dukungan yang tinggi untuk memilih nama keluarga terpisah datang dari orang-orang yang lebih muda.
MECHOS DE LAROCHA | THE GUARDIAN