TEMPO.CO, LONDON - Kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dilaporkan saat ini memiliki pendapatan US$ 80 juta (Rp 1,1 triliun) per bulan. Sebagian besar pendapatan tersebut berasal dari pajak dan penyitaan.
Dalam satu laporan baru, Pemantau Konflik IHS mengatakan, tidak seperti kelompok Al-Qaeda, ISIS tidak mengandalkan sumbangan dana asing karena mereka meraih pendapatan dari daerah yang ditawan, yaitu sebagian besar wilayah di Suriah dan Irak.
Menggunakan informasi intelijen terbuka, termasuk media sosial dan sumber dalam negara konflik, IHS mengatakan, hampir separuh pendapatan ISIS datang dari pajak dan penyitaan.
Ludovico Carlino, analis senior di IHS juga tim Konflik Monitor IHS, mengatakan, ISIS "mengenakan pajak 20 persen pada semua layanan", baik itu retail, pertanian, akses internet, dan jaringan telepon seluler, tagihan listrik, atau industri lainnya.
Selain mengenakan biaya 20 persen ke semua layanan, sekitar 43 persen pendapatan adalah dari penjualan minyak dan sisanya dari penyelundupan narkoba, penjualan tenaga listrik, serta sumbangan.
"ISIS mengontrol negara, jadi mereka mengenakan pajak atas penduduk, menyita properti, meraih pendapatan dari bisnis milik pemerintah, serta hasil minyak dan gas.
"Kelompok teroris lain tidak memiliki kemampuan ini," kata analis senior IHS, Columb Strack, yang berbasis di London.
Namun IHS menambahkan, kelompok teroris terkuat di dunia itu saat ini bergelut dengan masalah keuangan akibat serangan yang menargetkan infrastruktur kawasan minyak yang dikendalikannya.
ISIS mengontrol sebagian besar wilayah di Suriah dan Irak tahun lalu, menyatakan pemerintah Kalifah sendiri, dan melakukan kekejaman luas.
RT|BUSINESS WIRE|YON DEMA