TEMPO.CO, Melbourne - Pengusaha asal Victoria, Australia, Margot Spalding, 62 tahun, menyadari kota tempat dia tinggal, Bendigo, telah terbelah antara pendukung anti-Islam dan anti-rasisme.
Munculnya dua kubu dipicu rencana pembangunan masjid di Bendigo. Kedua kubu menggelar aksi demo beberapa kali dan berujung bentrok.
Spalding kemudian memutuskan untuk mendukung Bendigo menjadi kota toleran, anti-rasis. Ia percaya Bendigo akan menjadi perekat masyarakat Australia untuk bersikap toleran dan tidak rasis. "Saya sangat percaya bahwa protes anti-masjid dapat berhenti jika jalur utamanya di Bendigo ditutup," kata Spalding, mantan Telstra Bisnis Woman of the Year, seperti dilansir ABC, Senin, 23 November 2015.
Spalding memimpin perjuangan melawan intoleransi dan kebencian di Bendigo. Ia mengatakan demonstrasi anti-masjid di kota tersebut harus dihentikan sebelum tersebar ke seluruh Australia. Pada protes anti-masjid yang merebak pada Agustus lalu, Spalding langsung mengadakan pertemuan untuk mengkampanyekan agama, bisnis, tokoh masyarakat, dan keyakinan di Bendigo.
Ada sekitar 300 muslim tinggal di Bendigo. Banyak dari mereka adalah dokter, dokter gigi, perawat, pekerja pabrik, dan mahasiswa. Mereka beribadah di sebuah ruangan kecil dan penuh sesak di Universitas La Trobe.
Maka, pada Juni 2014, Dewan Kota Bendigo menyetujui izin pembangunan masjid. Namun hal tersebut ditolak sekelompok kecil warga Australia dan melakukan banding ke Mahkamah Agung Victoria.
"Gagasan bahwa orang akan datang ke Bendigo dari luar dan memprotes sebuah masjid yang dibangun di sini membuat banyak orang terkejut," ujar Pendeta John Roundhill, pemimpin Gereja Anglikan di Bendigo.
Spalding sendiri memiliki tiga karyawan muslim yang merupakan pengungsi asal Afganistan. Dia mengizinkan karyawannya menjalankan salat di pabriknya. "Saya memiliki pandangan pribadi bahwa setiap orang memiliki hak untuk berdoa di mana mereka merasa nyaman," tutur Spalding.
Atas pilihannya itu, surat-surat bernada kebencian membanjiri rumah Spalding. Begitu banyak surat kebencian diterimanya. Hingga akhirnya Spalding memutuskan berhenti membacanya dan menyerahkan surat-surat itu ke polisi. "Akhirnya saya menyerahkannya ke kantor polisi. Ketika menerima surat itu, saya tak ingin melihatnya," ucap Spalding seperti dilansir Daily Mail yang telah tinggal di Bendigo selama 40 tahun.
ABC | DAILY MAIL | YON DEMA