TEMPO.CO, Yangon - Sebanyak 104 orang tewas dan lebih dari 100 lainnya dilaporkan masih hilang dalam insiden tanah longsor dekat tambang giok di Hpakant utara Myanmar, pada Sabtu, 21 November 2015.
Menurut pemimpin masyarakat lokal, Lamai Gum Ja, reruntuhan terjadi di wilayah Kachin. "Saya diberi tahu mereka yang berada di tempat kejadian. Lebih dari 100 jenazah telah dibawa keluar dari reruntuhan tanah dan lebih 100 lagi masih hilang," kata Lamai Gum Ja seperti yang dilansir BBC pada 22 November 2015.
Kejadian itu menyebabkan puluhan pondok penambang, yang tidak diketahui jumlahnya, tertimbun.
Ko Sai, penambang yang berada di dekat kamp, mengatakan tanah longsor terjadi jam 3 dinihari. Saat itu, para penambang sedang tidur. "Ini seperti mimpi buruk," kata Ko Sai.
Para penambang, ujarnya, mendengar suara keras seperti guntur dan menyaksikan gunung runtuh dan goncangan bergerak di sekitar kawasan itu.
Pejabat otoritas pemerintahan lokal, Nilar Myint, mengatakan belum ada korban yang selamat ditemukan dari lokasi longsornya tanah di wilayah utara Kachin.
"Kami hanya melihat mayat dan tidak ada yang tahu berapa banyak orang sebenarnya tinggal di sana. Hanya seorang ditemukan hidup-hidup, sayangnya dia meninggal tidak lama kemudian."
Ancaman bencana longsor biasa dihadapi penduduk setempat yang memilih tinggal di area timbunan limbah tambang dengan harapan menemukan giok bernilai ribuan dolar.
Myint menambahkan, para pekerja penyelamat dari Palang Merah Myanmar, tentara, polisi, dan penduduk setempat mencoba membantu menggali korban keluar dari timbunan tanah, tapi usaha mereka terhalang oleh cuaca buruk.
Wilayah tersebut merupakan daerah tambang giok paling berkualitas di dunia yang menyumbang miliar dolar setahun. Hasil tambang berupa giok berkualitas itu banyak diselundupkan ke Cina dari wilayah penambangan ini.
Dalam laporannya Oktober lalu, kelompok Global Witness memperkirakan nilai giok diproduksi pada 2014 saja adalah US$ 31 miliar (Rp 425 triliun), hampir separuh PDB negara itu.
Meski begitu, beberapa pengamat mengklaim sebagian besar uang tersebut masuk ke individu dan perusahaan yang terikat dengan bekas pemerintah militer Myanmar.
BBC|YON DEMA