TEMPO.CO, Beirut - Libanon menyatakan berkabung satu hari secara nasional menyusul ledakan bom bunuh diri menewaskan sedikitnya 41 orang di Ibu Kota Beirut, Kamis petang, 12 November 2015, waktu setempat. Aksi ini juga melukai setidaknya 200 korban lainnya.
Dalam aksi mematikan tersebut, kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengaku bertanggung tanggung jawab berada di balik ledakan bom yang terjadi di Burj al-Barajnegyh, kawasan pinggiran yang didiami kaum Syiah dan Hizbullah. Saat ini milisi Hizbullah sedang bertempur melawan ISIS di negara tetangga Libanon, Suriah.
Peristiwa ledakan bom tersebut paling mematikan sejak berakhirnya perang saudara yang berlangsung di Libanon pada 1990. Perdana Menteri Libanon, Tammam Salam, meminta seluruh masyarakat tetap menjaga perstuan dan kesatuan bangsa agar tak terpecah-pecah.
Sementara itu, menanggapi aksi brutal tersebut, Washington memberikan reaksi keras. Dalam sebuah pernyataan yang diterima sejumlah media massa, Gedung Putih mengutuk ledakan bom yang dianggap sebagai perbuatan kaum teroris yang mengerikan.
"Kami tetap komit mendukung lembaga negara Libanon, termasuk layanan keamanan, stabilitas, kedaulatan negara, serta keamanan Libanon."
Iran selaku sekutu kunci Hizbullah juga mengecam serangan mematikan tersebut. "Ledakan pada Kamis petang itu menghantam sebuah jalan pusat perbelanjaan. Lebih dari 200 orang cedera," ucap Menteri Kesehatan Libanon, Wael Abou Faour.
Angkatan bersenjata Libanon mengatakan, dua orang lelaki mengenakan rompi selanjutnya melakukan serangan bom bunuh diri. "Lelaki pertama meledakkan dirinya di luar sebuah masjid kaum Syiah, sementara pelaku bom bunuh kedua melakukan aksinya di dekat toko roti."
BBC | CHOIRUL AMINUDDIN