Menurut rilis yang disampaikan KBRI Brussel, ungkapan yang sama juga disampaikan Wirajuda saat menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh Dr. Werner Langen, anggota Parlemen Eropa yang juga Ketua Delegasi Parlemen Eropa untuk negara-negara Asia Tenggara di Gedung Parlemen Eropa, Brussel pada 11 November 2015 mengenai isu Laut Cina Selatan.
Wirajuda menilai bahwa kawasan Asia memiliki potensi konflik yang tinggi dan tidak memiliki prosedur dan mekanisme untuk mengurangi ketegangan dan menyelesaikan konflik. Berbeda dengan Eropa yang di puncak perang dingin menyepakati Helsinki Final Act (HFA) tahun 1975 yang ditandatangani oleh 35 negara mengenai kerjasama keamanan di Eropa.
Kesepakatan HFA mencakup berbagai isu global khususnya dalam menghadapi tantangan keamanan saat itu yaitu kemungkinan perang nuklir, masalah-masalah kemanusiaan dan HAM.
Kekhawatiran akan timbulnya konflik di Asia, terutama dilatarbelakangi kondisi psikologis di Asia Timur akibat warisan sejarah Perang Dunia dimana tiga negara yaitu Jepang, Korea, dan Cina akhirnya hampir tidak pernah bersepakat dalam segala isu kecuali isu ekonomi dan perdagangan.
Kunci untuk memperbaiki hubungan ketiga negara tersebut, menurut Dr. Wirajuda adalah bagi Jepang untuk meminta maaf, dan selanjutnya membangun hubungan positif ke depan.
SIMAK: RI Dukung Pengadilan Arbitrase Laut Cina Selatan