TEMPO.CO, Brussel - Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda memperingatkan ketidakseimbangan pembangunan politik dan ekonomi menyebabkan Asia tidak mampu menangani konflik, seperti yang saat ini terjadi di Laut Cina Selatan.
Hal tersebut menciptakan sebuah paradox Asia (Asian Paradox) dimana di satu sisi, kemakmuran tampak meningkat di Asia, namun di sisi lain, tidak ada mekanisme untuk menurunkan ketegangan.
“Proses pembangunan komunitas yang terjadi di kawasan Asia Timur saat ini lebih mementingkan pada kerjasama ekonomi dan kurang memberikan perhatian pada isu politik dan keamanan, sehingga kawasan tidak mampu menangani berbagai konflik seperti yang kini terjadi di Laut Tiongkok Selatan (LTS).
Hal ini menciptakan sebuah Asian Paradox. Untuk itu, perlu adanya suatu perubahan kebijakan yang mendasar,” ungkap Wirajuda saat memberikan pidato kunci pada konferensi “The Asian Paradox: Rising Wealth, Lingering Tension” yang diselenggarakan oleh Friends of Europe di Brussel, Belgia pada 10 November 2015.
Pandangan Menteri Luar Negeri RI periode 2001 – 2009 juga ini disampaikan antara lain saat menjadi lead speaker pada dinner debate yang diselenggarakan bersama oleh Friends of Europe, salah satu think-tank terkemuka Uni Eropa (UE) di Brussel, dan Konrad Adenauer Stiftung sehari sebelumnya.
SIMAK:
Konflik Laut Cina Selatan Akan Dibahas di KTT Asia Timur
Bersengketa Laut, Filipina Sambut Presiden Cina di Manila