TEMPO.CO, Jakarta - Aung San Suu Kyi, pemimpin partai oposisi di Myanmar, menggunakan hak suaranya dalam pemilihan umum pertama di Myanmar dalam 25 tahun di Yangon pada Minggu, 8 November 2015. Wanita yang pernah menjadi tahanan politik itu datang tanpa senyuman atau lambaian.
Suu Kyi datang ke tempat pemilihan dengan pengawalan ketat di tengah kerumunan wartawan. Penerima penghargaan Nobel Perdamaian tersebut menggunakan baju berwarna merah. Di rambutnya yang terikat, ada untaian bunga berwarna merah, merah muda, dan kuning.
Selain Suu Kyi, ada 32 juta warga yang terdaftar untuk memberikan suaranya dalam pemilu ini. Di sekitar tempat pemungutan suara, banyak warga Myanmar sejak subuh datang ke sana. Seperti dilansir dari The Guardian, seorang kakek berusia 74 tahun turut menunjukkan ujung kelingkingnya yang berwarna ungu. “Tugas saya sudah selesai. Saya memilih seseorang yang diinginkan warga untuk memimpin,” katanya di tempat Suu Kyi memilih.
Suu Kyi adalah pemimpin dari partai oposisi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Banyak yang optimistis dan berharap suara untuk Suu Kyi dapat melampaui jumlah suara untuk partai penguasa, Partai Kesatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), melalui pemilihan yang adil. Kemenangan partai oposisi tersebut akan mengakhiri kekuasaan diktator militer di Myanmar.
Untuk memenangi pemilu kali ini, NLD membutuhkan paling tidak 67 persen suara dari total 1.163 kursi. Sebabnya, 25 persen dari kursi yang tersedia di parlemen akan diberikan kepada militer.
Namun, meski Suu Kyi mendapatkan banyak suara, ia tidak akan bisa menjadi presiden. Pasalnya, rezim militer di Myanmar mengatur bahwa jabatan presiden tidak boleh diduduki warga yang menikah dengan orang asing. Suu Kyi sendiri menikah dengan pria berkebangsaan Inggris yang sudah meninggal.
THE GUARDIAN | VINDRY FLORENTIN