TEMPO.CO, Yangoon - Di sebuah kamp pengungsi di luar ibu kota provinsi Myanmar Sittwe, Soe Hlaing memegang selembar kartu merah muda, dokumen yang menunjukkan status kewarganegaraan dan memberinya hak suara dalam pemilihan umum bersejarah Minggu, 8 November 2015.
Namun, pria Muslim berusia 44 tahun itu, sebagaimana dilansir dari laman Trust.org pada 6 November mengatakan, dia tidak akan menggunakan hak suara sebagai protes terhadap pencabutan hak dari sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya.
"Kecuali setiap orang bisa memilih, saya tidak akan memilih," katanya sambil duduk di luar rumah rotan di kamp Ohn Daw Gyi di pinggiran Sittwe. Bahkan istrinya, kata dia, tidak masuk dalam daftar pemilih.
Soe Hlaing adalah Kaman Muslim, bukan Rohingya. Kaman adalah salah satu dari 135 kelompok etnis Myanmar yang diakui dan memiliki hak kewarganegaraan penuh, tidak seperti Rohingya.
Tapi, Soe Hlaing harus hidup di sebuah kamp pengungsi masyarakat Rohingya selama terjadi praktik kekerasan anti-Muslim sejak tahun 2012. Sejak di kamp, pemerintah telah menerapkan padanya sejumlah pembatasan seperti yang dialami kaum Rohingya.
Trust.Org melaporkan bahwa pada saat pemungutan suara—pemilu pertama yang bebas dan adil selama 25 tahun—akan berlangsung 8 November di Myanmar, kelompok Muslim minoritas tetap berada dalam tekanan dan tidak diakui.
Partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) secara umum diyakini akan memenangkan pemilu, tetapi tonggak reformasi politik kemenangan NLD dipercaya akan mewakili hilangnya partisipasi umat Islam di negara mayoritas Buddha itu.
Para Biksu Buddha radikal telah memicu ketegangan anti-Muslim selama waktu menjelang pemilu, dan NLD dilaporkan tidak mendorong calon Muslim karena takut diintimidasi.
Dikatakan bahwa sangat sedikit kandidat Muslim yang maju dari partai apa pun meskipun terdapat sekitar lima persen Muslim dari populasi 51 juta di Myanmar. Dan hanya 150 orang yang memenuhi syarat untuk memilih dari hampir 100.000 Muslim yang tinggal di kamp-kamp sekitar Sittwe, ibu kota Rakhine.
"Ini adalah tindakan menyedihkan dari sentimen anti-Muslim luas yang tidak hanya ditujukan pada Rohingya," kata David Mathieson, seorang peneliti senior Human Rights Watch Myanmar di Yangon.
TRUST.ORG | MECHOS DE LAROCHA