TEMPO.CO, Beijing - Seorang profesor di Cina menawarkan sebuah solusi aneh kepada para pria di Cina yang kesulitan untuk mendapatkan istri. Profesor di bidang ekonomi tersebut menganjurkan para pria miskin yang jomblo agar berbagi istri demi mendapatkan kebahagiaan duniawi.
Xie Zuoshi, profesor ekonomi di Universitas Zhejiang, mengatakan bahwa perkawinan adalah soal kekayaan dan keinginan, yang memungkinkan orang berpenghasilan tinggi untuk mendapatkan istri-istri mereka, sementara pria berpenghasilan rendah dapat berbagi istri tersisa.
"Pria dengan pendapatan yang tinggi akan memiliki keuntungan dalam mencari wanita, karena mereka mampu membayar harga tinggi," kata Xie, seperti yang dilansri Shanghaiist pada 26 Oktober 2015.
"Dan bagaimana dengan orang-orang berpenghasilan rendah? Salah satu cara adalah untuk beberapa orang bersatu untuk menemukan seorang istri. Ini bukan murni ide saya. Di beberapa daerah terpencil dan miskin ada kasus di mana saudara bersama-sama menikahi satu istri, dan mereka bisa hidup bahagia dan harmonis."
Jelas, tidak semua orang setuju dengan usulan Xie. Ide-idenya telah menciptakan kegemparan di kalangan feminis yang berpikir proposalnya tidak adil dan secara moral menjijikkan.
Namun, Profesor Xie membantah dengan argumen dan perdebatan yang cukup logis. "Jangan bicara padaku tentang moral. Jika kita tidak membiarkan 30 juta bujangan memiliki wanita, kehidupan mereka tidak akan memiliki harapan dan kemudian mereka dapat memperkosa, membunuh, meledakan bom."
Seiring dengan poliandri, Profesor Xie mengedepankan beberapa solusi termasuk penerimaan yang lebih luas homoseksualitas dan mengimpor istri dari negara-negara tetangga lainnya.
Biro Statistik Nasional Cina percaya bahwa pada tahun 2020, Cina akan memiliki antara 30 dan 40 juta bujangan mencari istri, karena kekurangan perempuan yang disebabkan oleh kebijakan satu anak dan keinginan pasangan Cina untuk mendapatkan anak laki-laki.
Namun, usulan sederhana Profesor Xie sebenarnya memiliki dasar sejarah. Awal bulan ini, Quartz menerbitkan sebuah artikel yang menjelaskan bagaimana pada abad ke-18 dan ke-19 di Cina pedesaan, perempuan mengambil dua (atau kadang-kadang lebih) suami.
Ini dipraktekkan di setiap provinsi Cina, dan untuk sebagian besar, hal itu ditoleransi oleh masyarakat setempat.
YON DEMA | SHANGHAIIST