TEMPO.CO, London - Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair akhirnya meminta maaf atas keikutsertaan Inggris dalam invasi Irak pada 2003. Meski invasi yang dilakukan bersama dengan Amerika Serikat itu berhasil menggulingkan Presiden Saddam Hussein, Irak hingga kini masih bergelimang konflik.
Hal ini disampaikan Blair dalam wawancara dengan pembawa acara CNN, Fareed Zakaria, pada Minggu, 25 Oktober 2015. “Saya meminta maaf karena data intelijen yang kami gunakan ternyata salah. Walaupun dia sering menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri, program senjata pemusnah massal itu tidak ada,” kata Blair.
Pernyataan Blair merujuk pada laporan intelijen yang menyebutkan Saddam memiliki senjata pemusnah massal, yang menjadi dasar serangan AS dan Inggris ke negara itu. Namun belakangan diketahui laporan intelijen itu salah. Tapi invasi telanjur dilakukan, pemerintah Saddam hancur, dan ia dieksekusi pada Idul Adha 2006.
Lengsernya Saddam tidak kunjung membuat Irak damai. Peperangan demi peperangan terjadi di negara itu. Salah satunya adalah konflik sektarian yang memakan banyak korban jiwa. Berbagai kelompok militan muncul, contohnya Al-Qaeda dan belakangan ISIS. Puluhan ribu warga sipil Irak, lebih dari 4.000 tentara AS, dan 179 personel militer Inggris terbunuh dalam operasi di Irak.
Blair mengaku tidak tahu dampak invasi itu akan sangat parah dan berkepanjangan. “Saya meminta maaf atas kesalahan dalam perencanaan dan pemahaman tentang apa yang akan terjadi setelah kami menggulingkan rezim Irak.”
Blair kepada Zakaria mengaku sadar kesalahan mereka dalam perang Irak telah membangkitkan ISIS, yang kebanyakan petingginya adalah veteran perang Irak atau anggota milisi negara itu yang menentang invasi AS.
SITA PLANASARI | THE TELEGRAPH