TEMPO.CO, Riyadh - Kedaulatan dan hak istimewa menjadi alasan utama Arab Saudi menolak ide untuk berbagi administrasi dalam mengelola ibadah haji bersama negara Islam lain.
Pangeran Kerajaan Arab Saudi, Turki al-Faisal, mengatakan hal tersebut untuk membalas berbagai kritikan terhadap negara itu dalam menindaklanjuti tragedi di Mina yang menewaskan lebih dari 1.400 jemaah.
Anggota utama keluarga kerajaan Saudi itu mengatakan pihaknya tidak dapat berkompromi dengan usulan itu karena ini melibatkan kedaulatan dan hak istimewa.
Negara seteru Arab Saudi, yaitu Iran, yang paling menelan korban jemaah meninggal dalam insiden Mina, menuduh kesalahan manajemen pemerintah Arab Saudi sebagai penyebab insiden saling injak saat melempar jumrah di Mina tersebut.
Teheran mendesak adanya satu badan independen untuk mengawasi pengelolaan ibadah haji setiap tahun.
Keluarga Kerajaan Al-Saud yang memerintah Arab Saudi mendapat martabat tinggi dalam dunia Islam karena tugas mereka sebagai penjaga dua tanah suci, yaitu Mekah dan Madinah.
Pemerintah Arab Saudi, Raja Salman, seperti monarki sebelumnya, memegang gelar Penjaga Dua Masjid Suci, mengacu adanya Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah, masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad.
"Kami tidak akan menyerahkan hak istimewa atau martabat sebagai pengurus dua tempat suci ini," ujar Al-Faisal, seperti yang dilansir IB Times pada 12 Oktober 2015.
Al-Faisal juga menambahkan, bahwa isu untuk berbagi mengelola urusan haji adalah langkah politik yang coba dimainkan Iran untuk menguasai Arab Saudi.
"Saya pikir mereka mencoba untuk mencari keuntungan politik dari insiden ini. Penderitaan manusia seharusnya tidak menjadi alat untuk kepentingan politik. Ini catatan yang dimainkan berulang-ulang oleh para pemimpin Iran," kata Al-Faisal.
IB TIMES | YON DEMA