TEMPO.CO, Kabul - Setelah insiden penyerangan rumah sakit di Kunduz, Afganistan, oleh militer Amerika Serikat pada akhir pekan lalu, organisasi bantuan medis Dokter Lintas Batas (MSF) mengatakan akan menutup dan meninggalkan rumah sakit amal tersebut.
Seperti dilansir New York Times, Selasa, 5 Oktober 2015, MSF mengatakan sudah mengeluarkan semua staf dari Kunduz, menyusul serangan udara yang dianggap PBB sebagai kejahatan perang.
"Rumah Sakit ini tidak lagi berfungsi. Semua pasien kritis dipindahkan ke rumah sakit lain. Saya tidak bisa pastikan lagi sejauh ini apakah rumah sakit ini akan dibuka kembali, " kata seorang juru bicara MSF.
Penutupan rumah sakit tersebut akan berdampak negatif, tidak hanya bagi warga Kunduz tetapi juga bagi penduduk di wilayah sekitar yang kekuarangan perawatan medis. MSF menyebut rumah sakit ini adalah satu-satunya fasilitas bedah gratis di timru laut Afghanistan selama empat tahun terakhir. Kelompok itu mengatakan bahwa pada 2014 lebih dari 22.000 pasien menerima perawatan di rumah sakit dan lebih dari 5.900 prosedur bedah dilakukan.
Sementara itu angka kematian akibat serangan udara Amerika Serikat (AS) di halaman rumah sakit di Kunduz meningkat menjadi 22 orang. MSF mengatakan, tiga lagi pasien di rumah sakit itu meninggal dunia membuat korban yang tewas adalah 10 pasien, termasuk 3 anak-anak, dan 12 staf MSF. Serangan ini juga menyebabkan 37 orang cedera, termasuk 19 tim medis MSF.
Pengeboman ini terjadi meski MSF telah menginformasikan koordinat GPS rumah sakit kepada militer Afganistan dan koalisi AS sejak 29 September lalu. Hal ini sesuai dengan prosedur umum MSF di daerah konflik."Serangan ini amat mengerikan dan melanggar hukum Humaniter Internasional," ujar Meinie Nicolai, Presiden MSF dalam pernyataan yang diterima Tempo.
Pemerintah AS dan Afghanistan berjanji menyelidiki insiden itu dan juru bicara militer AS mengatakan, kemungkinan rumah sakit itu diserang pesawat penggempur tentara sekutu AS-NATO. MSF menuntut transparasi total dari pasukan koalisi dan menolak kematian para korban sebagai sekedar 'collateral damage' atau korban tambahan yang bukan menjadi sasaran.
NEW YORK TIMES | YON DEMA