TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan warga Myanmar yang bekerja di luar negeri terancam tidak ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum bebas pertama sejak berakhirnya kekuasaan militer.
Pekerja dan aktivis menyalahkan birokrasi, ketidakpastian batas waktu, dan kurangnya dokumentasi. Ditambah lagi dengan ketidakseriusan kedutaan Myanmar dalam mensosialisasikan pemilu kepada pemilih potensial di luar negeri. Adapun jumlah pekerja Myanmar di luar negeri sekitar 2 juta.
Dilansir dari laman Trust.org, 8 September 2015, para pemilih di luar negeri kemungkinan besar tidak mendukung pemerintah yang berkuasa saat ini—militer Uni Solidaritas dan Partai Pembangunan. Sebab, sebagian besar dari mereka melarikan diri dari pemerintahan militer.
Aturan mengharuskan para pekerja di luar negeri menyediakan berbagai dokumen resmi saat memverifikasi hak untuk memilih, termasuk salinan cetak dari daftar pemilih, dari tempat tinggal mereka di Myanmar—yang oleh aktivis dikatakan hampir tidak mungkin diperoleh sebagian besar buruh.
"Ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan untuk mendapatkan salinan daftar pemilih tepat waktu," kata David Than, seorang insinyur Myanmar yang bekerja di Singapura, kepada Reuters melalui telepon.
Trust.org kemudian melaporkan bahwa paspor juga diperlukan untuk mendaftar sebagai pemilih. "Banyak pekerja di sini paspornya diambil dan disimpan oleh majikan mereka," ujar Kyaw Thein, seorang aktivis pejuang hak-hak pekerja Myanmar di Thailand.
Saat ini kurang dari 19 ribu pemilih di luar negeri tengah berupaya mendaftar sebelum batas waktu. Kementerian Luar Negeri menetapkan batas waktu pendaftaran hingga akhir Agustus, sementara Komisi Pemilihan Umum menyatakan bahwa tenggat waktu itu tentatif dan mereka akan menyampaikan kebijakan pembatasan waktu tanpa memberikan kepastian.
Warga Myanmar yang mendaftar di luar negeri dijadwalkan akan memberikan suara pada 17 Oktober 2015. Jutaan warga Myanmar mengungsi karena kemiskinan, pelecehan, dan perang di negara itu selama 49 tahun.
Sejak 2011, pemerintah semi-sipil Presiden Thein Sein telah memperkenalkan reformasi dan membuka akses ekonomi, mendorong beberapa pekerja untuk kembali. Namun jutaan pekerja tetap berada di luar negeri—sebagian besar bekerja di perkebunan, restoran, dan menjadi pekerja pabrik garmen di Thailand.
TRUST.ORG | MECHOS DE LAROCHA