Aktivis hak-hak sipil, politikus, dan akademikus mengecam bendera Konfederasi sebagai simbol abadi rasialisme dan kebencian. “Bendera dan perang itu merupakan cerita tentang perbudakan dan kemiskinan,” kata Kevin Alexander Gray, aktivis hak asasi kulit hitam yang tinggal di Columbia. “Namun negara ini melakukan penyangkalan sejarah.”
Roof membawa bendera Konfederasi dalam foto yang diunggahnya di sebuah website. Ia juga mengendarai mobil dengan pelat yang juga menampilkan lambang Konfederasi. Dia ikut berdoa bersama anggota Gereja Emanuel Afrika Methodist Episcopal selama sekitar satu jam sebelum menembak dan menewaskan sembilan orang, termasuk pendeta.
Bendera ini awalnya mewakili pasukan Jenderal Robert E. Lee dari Virginia Utara, yang menjadi kekuatan utama Konfederasi dalam perang sipil yang berlangsung pada 1861-1865. Satu abad setelah perang itu berakhir, bendera tersebut menjadi simbol perlawanan Carolina Selatan dalam era perjuangan hak-hak sipil pada 1940-an dan 1950-an. Pada 1962, bendera seperti huruf “X” berwarna biru dengan 13 bintang putih diletakkan di latar belakang berwarna merah itu dikibarkan di Balai Kota Columbia untuk pertama kalinya.
Pada 2000, protes terhadap bendera ini berujung relokasi di luar gedung. Pekan ini, saat bendera Amerika Serikat dan Carolina Selatan diturunkan setengah tiang untuk menghormati korban pembunuhan di Charleston, bendera Konfederasi justru tetap berkibar penuh. Alasannya, anggota parlemen negara, satu-satunya yang memiliki otoritas mengubah aturan pengibaran bendera, tengah reses hingga Januari.
“Orang-orang terlalu banyak menekankan simbolisme,” kata McElveen. Pria itu mengatakan lahir di Carolina Selatan dan telah tinggal di Eastover selama tiga dekade terakhir. “Bendera ini penting karena merupakan bagian dari sejarah kita. Bendera ini tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada minggu terakhir ini.”