TEMPO.CO , Bunia:Ketika di negeri ini tengah disibukkan dengan mencari cara memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum, di Kongo, negara terbesar kedua di benua Afrika telah membuat inovasi untuk memulihkan kepercayaan masyarakatnya terhadap sistem peradilan.
Inovasi berupa sistem pengadilan sipil bergerak bertujuan memberikan hukuman dan keadilan dalam kasus kejahatan seksual yang terjadi dalam skala masif di Kongo. Ada 65 kasus kekerasan seksual yang akan dibawa ke pengadilan. Pelakunya militer dan sipil. Korbannya para perempuan dan anak-anak yang tersebar di berbagai tempat hingga ke perbatasan Uganda.
Baca Juga:
Sistem pengadilan sipil bergerak ini dibentuk dengan mempertimbangkan kasus kekerasan seksual tersebar di sejumlah daerah dan masyarakat mengalami kesulitan mengakses pengadilan.
Pekan lalu, persidangan dengan sistem pengadilan sipil bergerak di Bunia, menghadirkan 46 terdakwa yang didakwa melakukan kekerasan seksual kepada sejumlah perempuan dan anak-anak di perbatasan Uganda. Hasilnya, hakim menyatakan 13 terdakwa diputuskan tidak bersalah, dan enam kasus dikembalikan ke jaksa untuk diperbaiki. Selebihnya, dijatuhi hukuman antara 7 hingga 15 tahun penjara.
Di ibu kota provinsi Ituri, Pengadilan Mahkamah Bunia menggelar pengadilan massal dengan sistem pengadilan bergerak. Warga yang tak mampu mengakses pengadilan dan hakim menjadi terbantu. Meski begitu ada juga kritik karena pengadilan massal membuat persidangan jadi lamban.
Menurut Penasehat Kepresidenan untuk Kekerasan Seksual dan Perekrutan Anak, pengadilan bergerak yang dia ikuti pertama kali diterapkan di Itori pada Oktober 2014.
Dari konsultasi yang dia adakan tahun lalu di Itori, penduduk lokal menyatakan kekhawatiran mereka atas sistem pengadilan militer yang tengah berlangsung tidak menuntut pelaku kekerasan seksual dari warga sipil. Sehingga mereka berharap adanya pengadilan untuk menghukum para pelaku.
"Tidak semua korban kekerasan seksual di Kongo mampu dengan mudah mengakses sistem pengadilan, makanya kami membawa pengadilan ini ke masyarakat," kata Mabunda seperti dilansir All Africa.com, 16 Juni 2015.
Selama ini, para korban kejahatan seksual terus jadi korban akibat ketiadaan saluran yang sesuai untuk mendakwa para pelaku. Malah yang terjadi, mereka kerap dipaksa untuk mengungsi dari rumahnya dan mengalami diskriminasi. Mereka juga dilanda ketakutan akan serangan balas dendam dari para pelaku dan keluarganya.
"Kami membutuhkan pengadilan ini untuk menunjukkan bahwa keadilan itu ada. Para pemerkosa itu mengerti bahwa mereka harus dihukum. Kami ingin menyaksikan keadilan terjadi," kata seorang pria yang anaknya berusia 15 tahun menjadi korban kekerasan seksual.
Harapan yang besar dari masyarakat membuat pengadilan ini terus bekerja dan memastikan ke masyarakat bahwa pengadilan bekerja dengan cepat.
Pengadilan Mahkamah Bunial didanai oleh pemerintah Kongo dan Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kekerasan Seksual di daerah Konflik yang dikepalai oleh Zainab Bangoura. Badan ini mendapat dukungan dana dari pemerintah Jepang.
ALL AFRICA | MARIA RITA