TEMPO.CO, Sittwe - Panas matahari menyengat di kawasan muslim Rohingya dan Kaman di pinggiran Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Jumat dua pekan lalu. Jam menunjukkan pukul 10.30.
Seorang pria bersarung menyalami kami yang tengah mengobrol di halaman rumah panggung M. Rofiq di Latoma Roa, kawasan Rohingya. “Saya ayah Zaidul Haq,” kata Abdul Syukur, yang tinggal di salah satu kamp pengungsi Ohn Taw Gyi. “Baru Rabu lalu kami berbicara,” ujar pria 50 tahun ini. (Baca juga: Sampai Kapan Pengungsi Rohingya Tinggal di Indonesia?)
Pada pukul 18.00, ada missed call di telepon seluler Abdul Syukur. Begitu tahu, dia segera menuju kafe Internet di Thae Chaung. “Kami bicara lewat Skype. “Hal pertama yang dikisahkan anaknya, “Papa, saya baru saja lolos dari kematian. Tidak ada baju yang melekat di badan saya. Orang-orang menyelamatkan saya, juga membantu saya.” Dia gembira anak-anaknya selamat, meski terdampar di Indonesia, bukan Malaysia.
Zaidul Haq yang disebut Abdul Syukur adalah anaknya yang kini berada di kamp penampungan Kuala Langsa, Aceh Timur. Zaidul, 25 tahun, dan adiknya, Manu, 18 tahun, berniat ke Malaysia. Setelah berbulan-bulan mengapung di Teluk Benggala dan Laut Andaman, keduanya terdampar di Aceh. (Lihat foto: Etnis Rohingya di Kamp Pengungsian Myanmar)
Saat Abdul Syukur berbicara, seorang bocah perempuan berbaju kembang-kembang ungu datang. “Ini anak sulung Zaidul, Nur Habibi,” Abdul Syukur memperkenalkan bocah 7 tahun itu. Begitu ditunjukkan foto ayahnya dari telepon seluler, Nur Habibi mengusap air mata, menangis. Tak ada kata-kata dari mulutnya. Rangkulan justru membuatnya lebih sesenggukan.
Baca Juga:
Tak lama, istri Zaidul, Mominah Begam, 23 tahun, dan dua anak lainnya, yakni Ronjambibi, 5 tahun, dan Ainamul Haq, 1 tahun 8 bulan, menyusul datang. “Saya belum pernah berbicara dengannya,” ujar Mominah. Menurut dia, juga Abdul Syukur, Zaidul mengatakan tak tahan lagi tinggal di Rakhine. “Tidak ada kerja, susah,” ucapnya.
Warga lain mulai berdatangan. Mereka ingin mengecek keluarga mereka lewat foto di telepon seluler Tempo. Belakangan ikut nimbrung, Hashina. “Anak laki-laki saya belum ketahuan di mana,” kata janda 35 tahun ini. Dia menyebut nama anaknya: Jakar Husain, yang juga dikenal sebagai Jangkir Husain.
Kebanyakan keluarga yang ditemui Tempo di halaman rumah Rofiq menyatakan alasan serupa mengapa mereka menempuh bahaya di lautan. “Kami di sini tidak bisa apa-apa. Seperti penjara. Tidak ada masa depan.”
PURWANI DIYAH PRABANDARI (SITTWE, MYANMAR)