TEMPO.CO, Yogyakarta - Mahasiswa program doktor Studi Hubungan Internasional, Universitas Marmara, Turki, Muhammad Syakroni, mengatakan mayoritas mahasiswa dan pelajar di Turki sebenarnya memiliki pandangan keagamaan moderat. Makanya, menurut dia, rata-rata mahasiswa asal Indonesia di Turki lebih mempercayai isi pemberitaan media mainstream dan penilaian pemerintah di sana mengenai bahaya Islamic State Iraq and Syuriah (ISIS).
"Mayoritas teman-teman di Turki bisa merespons ajakan jihad ISIS dengan rasionalitas tinggi," kata Syakroni, saat dihubungi oleh Tempo pada Ahad, 15 Maret 2015.
Lingkungan kultur Turki yang sekuler, menurut Syakroni, menyebabkan wacana jihad berbasis ideologi radikal tidak tumbuh subur di komunitas akademik. Ketika muncul isu ada 16 warga Indonesia hilang setelah berkunjung ke Turki merebak, respons kalangan mahasiswa itu juga tidak berlebihan.
Meskipun demikian, Syakroni mengakui ada kemungkinan terdapat kelompok kecil mahasiswa asal Indonesia di Turki yang secara diam-diam, terlibat dalam urusan penyaluran relawan ISIS. Akan tetapi, menurut Syakroni, dugaan itu masih susah dibuktikan.
Apalagi, ujar Syakroni, pemerintah Turki semakin memperketat penjagaan di perbatasan wilayahnya dengan daerah kekuasan ISIS. Pembatasan akses ke perbatasan diperketat oleh pemerintah Turki setelah mencuat kasus banyaknya relawan dari Eropa bergabung dengan ISIS lewat perbatasan Turki. "Kalau mahasiswa menerima beasiswa dari pemerintah Turki, akan lebih hati-hati bertindak karena datanya tercatat di departemen kepolisian," kata Syakroni.
Sampai sekarang Syakroni mengamati peningkatan kewaspadaan terkait arus masuknya gelombang relawan ISIS melalui Turki belum menimbulkan efek signifikan bagi para mahasiswa atau pelajar asal Indonesia di sana. "Asal punya dokumen resmi, tidak ada persoalan serius," kata dia.
Pakar terorisme dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Muhammad Wildan, menilai potensi perluasan pengaruh ISIS di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Turki memang ada meskipun tidak signifikan. Potensi lebih besar, ujar dia, bisa muncul di negara-negara yang selama ini subur menjadi tempat tumbuhnya gagasan radikal. "Seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yaman," kata dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM