TEMPO.CO, Berlin - Muslimah yang berprofesi sebagai guru di Jerman kini diizinkan berjilbab saat mengajar, sepanjang tidak menyebabkan gangguan. Keputusan ini dikeluarkan setelah sebuah pengadilan tinggi di negara ini mencabut larangan berjilbab bagi guru yang diberlakukan sejak 2003.
Pengadilan di Karlsruhe, yang menangani gugatan seorang guru Muslimah yang diberhentikan dari pekerjaannya karena berjilbab, menyatakan larangan berjilbab bertentangan dengan hukum. Simbol-simbol agama, kata putusan pengadilan itu, hanya bisa dilarang ketika secara nyata dan bukan abstrak mengganggu kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Christine Lueders, kepala badan anti-diskriminasi federal, menyambut baik putusan itu. Ia menyebut putusan ini "akan memperkuat kebebasan beragama di Jerman". Ia berharap 16 negara bagian di Jerman segera meninjau aturan agar relevan.
Hal yang sama juga diungkapkan Volker Beck, anggota parlemen dari kubu oposisi. "Ini adalah hari yang baik untuk kebebasan beragama," katanya.
Dia berpendapat bahwa tutup kepala yang dikenakan baik oleh Muslim, Yahudi, tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat. Sebaliknya, ia menyebut gerakan yang diusung oleh kelompok sayap kanan Alternative for Germany (AfD), neo-Nazi, dan ekstremis Muslim lah yang membahayakan masyarakat.
Namun Harian Taz yang terbit di Berlin memperingatkan bahwa kelompok anti-Islam Pegida akan melakukan gerakan untuk mencabut putusan ini. "Pegida akan merayakannya," tulis halaman muka Taz, di bawah foto jilbab di sebuah etalase toko.
Pegida, kependekan dari Patriotic Europeans against the Islamisation of the west, secara rutin melakukan aksi unjuk rasa menentang apa yang mereka sebut sebagai Islamisasi Eropa. Namun populeritas kelompok ini mulai menurun setelah anggotanya mulai kalah banyak dengan demonstran anti-rasis dan pendiri Pegida, Lutz Bachmann, berpose dengan kumis Hitler dalam sebuah foto.
GUARDIAN | INDAH P.