TEMPO.CO, Phnom Penh - Perdana Menteri Kamboja Hun Sen memperingati 30 tahun masa kekuasaannya pada Rabu, 14 Januari 2015. Pria 62 tahun ini mengklaim telah membawa perdamaian bagi semua kelompok yang saling berperang selama bertahun-tahun.
Hun Sen memperingati 30 tahun pemerintahannya dengan peresmian jembatan di atas Sungai Mekong di Neak Loeung, 60 kilometer arah tenggara Ibu Kota Phnom Penh.
Namun peringatan 30 tahun kekuasaan Hun Sen diwarnai dengan serangan pengkritiknya yang menuding Hun Sen mempertahankan kekuasaannya melalui manipulasi politik. (Baca: Tekan Angka Kematian Ibu, Belajarlah dari Kamboja.)
Hun Sen cuek dengan serangan para pengkritiknya. Dalam pidato peringatan sebagai orang nomor satu di Kamboja selama 30 tahun, ia menanggapi santai para pengkritiknya. "Hari ini menandai 30 tahun saya sebagai perdana menteri, ada banyak pemberitaan di koran-koran yang semuanya menulis hal-hal buruk tentang saya," ujarnya. Menurut Hun Sen, memang ada keuntungan dan kerugian selama masa kepemimpinannya.
Hun Sen mengatakan dirinya akan tetap berkuasa sampai setidaknya tahun 2018. Namun hal itu, ujar dia, bergantung pada masyarakat yang akan memberikan suaranya pada pemilihan umum mendatang. Sebelumnya, Hun Sen berjanji menjalankan pemerintahan di Kamboja sampai berusia 74. (Baca: 13 Aktivis Kamboja Dihukum karena Dugaan Makar.)
Sebuah kelompok hak asasi yang berbasis di Amerika Serikat menyerang balik Hun Sen. Kelompok tersebut menyatakan bahwa setiap pembangunan ekonomi yang dibawanya ke Kamboja telah terseret oleh korupsi yang merajalela dan menyerukan agar Hun Sen harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi yang dilakukan.
Laporan tahunan pemantau hak asasi manusia yang diterbitkan oleh Human Rights Watch, yang berkantor di New York, Amerika Serikat, menjelaskan Hun Sen berulang kali mengatakan dirinya menggunakan "kekerasan, penindasan, dan korupsi" dalam mempertahankan kekuasaannya. "Jika seseorang telah menunjukkan kepemimpinan yang salah, mereka tidak bisa mempertahankan kekuasaannya," kata Hun Sen menanggapi laporan HRW pada Selasa pekan lalu.
Brad Adams, Direktur Asia Human Rights Watch, menyatakan bahwa Hun Sen bertanggung jawab atas mereka yang tewas di Kamboja serta atas tidak adanya jumlah kemajuan yang dicapai. (Baca: Empat Tahun Kabur, Tokoh Oposisi Kamboja Pulkam.)
Selain itu, rakyat Kamboja sebenarnya berharap ada pemilihan pemimpin melalui pemilu yang bebas dan adil. Namun, selama pemerintahan Hun Sen, tidak pernah ada pemilihan seperti harapan rakyat Kamboja. "Ini tidak mengejutkan. Sebab, tidak ada dalam sejarah demokrasi, seseorang dipilih dan berkuasa selama 30 tahun melalui pemilihan umum yang bebas dan adil," katanya.
Hun Sen mengawali kariernya sebagai menteri luar negeri yang dipilih oleh Vietnam setelah invasi 1979. Ini upaya untuk mengakhiri kekuasaan Khmer Merah. Ia kemudian menjabat sebagai perdana menteri pada tahun 1985 dan mempertahankan kekuasaannya tanpa pemilihan. Hun Sen bahkan menolak mengakui kehilangan jajak pendapat tahun 1993.
Pada tahun 1997, ujar Brad Adams, Hun Sen melakukan kudeta berdarah untuk menjaga cengkeraman kepemimpinannya. Setiap pemilu yang digelar di Kamboja dianggap tidak bebas dan adil oleh pengamat internasional.
CORA AMYRA UQIYANUS | RADIO FREE ASIA
Baca juga:
KPK Diminta Panggil Ulang Wakapolres Jombang
Diduga Korupsi, Sekda Indragiri Hulu Tersangka
Mahasiswa, Pelaku Tabrakan di Pondok Indah
ITW Gugat Ahok ke Mahkamah Agung