TEMPO.CO, Hong Kong – Ratusan ribu orang telah mengambil bagian dalam referendum yang digelar secara online pada Jumat, 20 Juni 2014, di Hong Kong. Hampir 300 ribu orang berpartisipasi dalam sebuah jajak pendapat yang mengutuk Cina karena ingkar janji dalam memberikan hak pilih secara universal.
Menurut laporan Channel News Asia, dalam waktu delapan jam, sebanyak 298.268 orang telah diminta mengambil bagian untuk menentukan metode memilih pemimpin Hong Kong pada 2017.
Occupy Central--gerakan prodemokrasi lokal yang menyelenggarakan pemungutan suara yang rencananya berlangsung sepuluh hari--membuktikan tekad rakyat Hong Kong untuk menggelar pemilu yang independen.
Secara garis besar, para pemilih meminta Cina untuk memberi tempat calon pemimpin Hong Kong yang berasal dari rakyat Hong Kong sendiri pada tiga tahun mendatang. Jika tidak dipenuhi, mereka mengancam akan memblokade sebuah distrik yang menjadi jantung ekonomi kota.
“Kami berharap, lewat referendum ini, pemerintah (Cina) bisa memahami bagaimana tuntutan kuat masyarakat dan lebih banyak melakukan pertimbangan ketika akan membuat keputusan,” ujar Benny Tai, profesor hukum di Universitas Hong Kong, kepada Reuters. Benny juga merupakan salah satu penggagas referendum ini.
Baca Juga:
Ketegangan antara Cina dan Hong Kong kembali menguat pada 1997. Cina memang telah mengambil alih Hong Kong dari Inggris sejak 1949. Namun demikian, Hong Kong, yang mayoritas warganya beragama Budha, merasa pemerintahannya diambil alih oleh pemerintahan Cina yang komunis.
ANINGTAS JATMIKA | CHANNEL NEWS ASIA | REUTERS
Terpopuler
Habis Diperkosa, Gadis Pakistan Digantung di Pohon
5 Fakta tentang Raja Baru Spanyol
Warga Kristen di Irak Kian Terjepit