TEMPO.CO, Baghdad -- Invasi Amerika Serikat ke Irak meninggalkan cerita pedih bagi umat Kristen di negeri itu. Selama satu dasawarsa, hidup mereka tak lagi tenang. Mereka kerap mengungsi untuk menghindari aksi kekerasan, yang apa pun alasannya, selalu berimbas pada mereka.
Kini ketika militan Islam dari Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengintensifkan serangan, mereka kembali mengungsi. Bahkan, sebagian dari mereka menyatakan tak ingin kembali ke rumahnya lagi.
Kekerasan kali ini merupakan pukulan baru bagi komunitas Kristen Irak, yang keberadaannya di negeri itu hampir sama tuanya dengan agama itu sendiri. Selama sebelas tahun terakhir, setidaknya setengah dari populasi Kristen telah meninggalkan negara itu untuk menghindari serangan yang paling sering dilakukan oleh militan dengan menargetkan rumah-rumah dan gereja-gereja mereka.
"Aku tidak akan pulang ke rumahku," kata Lina, yang melarikan diri dari Mosul dengan keluarganya saat militan menyerbu. Mereka memutuskan pergi ke Alqosh, sekitar 50 kilometer di utara. "Setiap hari kami pergi ke tempat tidur dalam ketakutan."
Menurut Wali Kota Alqosh, Sabri Boutani, sekitar 160 keluarga Kristen--sebagian besar dari Mosul-- memilih tinggal di kamp pengungsian yang didirikan di kota itu pekan lalu. Sebagian besar dari mereka berbahasa Kasdim, bahasa kuno yang digunakan oleh banyak penduduk Irak.
Sejak invasi dan kini serangan militan, kedamaian di Alqosh terkoyak. Alqosh adalah kota tua di Irak yang sudah berdiri sejak abad ke-1 Masehi. Kota kecil ini berpopulasi 6.000 jiwa, separuhnya beragama Kristen dan sisanya Kurdi. Meski berada di luar zona otonomi Kurdi di Irak utara, mereka sebelumnya aman karena pejuang Kurdi Peshmerga selalu melindungi mereka.
Bagi banyak umat Kristen Irak, tinggal bersama warga Kurdi lebih nyaman. "Setiap orang Kristen lebih memilih untuk tinggal di Kurdistan," kata Abu Zeid, seorang insinyur. Dia juga mengatakan bahwa ia tidak akan kembali ke Mosul.
"Ini memalukan karena Mosul adalah kota paling penting di Irak bagi umat Kristen," ujarnya. Mosul adalah kota tempat Nabi Yunus dimakamkan.
Irak diperkirakan memiliki lebih dari 1 juta umat Kristen sebelum invasi 2003. Kini otoritas gereja menyatakan umat yang tersisa tinggal 450 ribu orang yang hidup dengan keterbatasan. Militan menargetkan orang-orang Kristen dalam berbagai serangan. Kardinal Katolik Khaldea diculik pada 2008 oleh para ekstremis dan dibunuh. Gereja-gereja di seluruh negeri telah dibom berulang kali.
Di Mosul, dari populasi pra-invasi 2003 dengan sekitar 130 ribu umat Kristen, kini tinggal 10 ribu orang saja. Dari jumlah itu, hanya 2.000 orang yang tetap mendiami rumah mereka, tak ikut mengungsi.
"Tak ada masa depan bagi umat Kristen di Irak," kata George Demacopoulos, Direktur Pusat Studi Kristen Ortodoks di Fordham University New York. "Tidak ada solusi jangka pendek yang diambil."
Selama bertahun-tahun Vatikan telah menyuarakan keprihatinan tentang nasib umat Kristen di Timur Tengah. Perang, kemiskinan, dan diskriminasi adalah problem utama mereka.
Selama perjalanan baru-baru ini ke Yordania, Paus Fransiskus menyempatkan diri bertemu dengan umat Kristen Irak dan Suriah. Ia mengecam perang dan konflik sektarian yang terjadi di negara yang bertetangga dengan Iran dan Suriah ini.
AL ARABIYA | INDAH P