TEMPO.CO, Bagdad - Di antara ribuan poster yang terpampang pada tembok di beberapa jalan di Ibu Kota Bagdad, terselip poster kampanye Perdana Menteri Nouri al-Maliki. “Bersama kita membangun Irak,” demikian bunyinya. Namun tuduhan Maliki sebagai tokoh pemecah belah Irak justru berkumandang menjelang pemilihan umum parlemen pertama Irak pada Rabu lalu.
Bagi rival politik ataupun warga minoritas Sunni, sang perdana menteri yang berambisi untuk berkuasa ketiga kalinya justru menghancurkan persatuan rapuh yang telah ada di antara berbagai etnis di Irak selama ini.
Hal ini dirasakan benar oleh Abu Noor. Pria berusia 54 tahun dari kelompok Sunni itu kini hanya bepergian bila ada keperluan mendesak. Setelah selesai bekerja, ia akan langsung pulang ke rumahnya dan buru-buru mengunci pintu. Pemicunya adalah kekerasan yang dilakukan tentara terhadap ia dan keluarganya enam bulan lalu.
“Mereka memaksa masuk dan memukuli kami tanpa alasan. Istri saya sampai memohon agar kami dilepaskan,” kata Abu Noor, mengenang. Bagi para tentara Syiah, warga Sunni adalah kelompok kafir pendukung Saddam Hussein.
Seperti Abu Noor dan keluarganya, banyak warga Sunni mengeluhkan perlakuan diskriminatif yang dilakukan pemerintahan Syiah Maliki. Selain perlakuan kasar dari aparat, warga Sunni sulit melamar pekerjaan di lingkup pemerintahan. Mereka kerap kalah oleh kandidat asal Syiah, yang berada di bawah kualifikasinya.
Serangan bom bunuh diri pun mewarnai pemilu Irak. Puluhan orang tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka dalam serangan bom bunuh diri di sejumlah tempat. Menurut Reuters, Senin lalu, sedikitnya 30 orang tewas dan 50 lainnya terluka saat menghadiri sebuah pertemuan politik di Kota Khanaqin, sekitar 140 kilometer timur laut Bagdad.
Toh, Abu Noor bertekad mengambil risiko keamanan dengan mencoblos. Ia berharap akan ada perubahan lebih baik bagi rakyat Irak. Ia berjanji akan segera meninggalkan Irak bersama keluarganya bila Maliki kembali terpilih. “Kami tak mungkin menunggu lima tahun lagi dalam penderitaan di bawah kepemimpinannya.”
WASHINGTON POST | AP | GLOBAL POST | REUTERS | SITA P