TEMPO.CO, Yogyakarta - Australia dan Indonesia bekerja sama untuk membantu kaum difabel mengatasi hambatan besar yang dihadapi dalam sistem peradilan Indonesia.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain beberapa pengadilan tidak menerima bukti melalui penerjemahan bahasa isyarat dan tidak mengizinkan kesaksian tunanetra karena dianggap tidak “menyaksikan” kejadia yang terkait dengan kasus hukum.
Kerja sama tersebut tertuang dalam nota kesepahaman antara Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) dan Komisi Yudisial Republik Indonesia di Yogyakarta, Kamis, 13 Maret 2014. Kedua organisasi itu menyatukan tekad untuk bekerja sama dengan pengadilan-pengadilan Indonesia guna mempromosikan kesetaraan kesempatan mengakses peradilan bagi kaum difabel.
“Bersama Komisi Yudisial, kami akan memantau pengadilan-pengadilan dan membantu mereka menjadikan sistem peradilan lebih peka terhadap kebutuhan kaum difabel,” kata Joni Yulianto, Direktur Sigab.
Prakarsa tersebut didukung oleh Kemitraan Australia Indonesia untuk Keadilan, sebuah program yang didukung pemerintah Australia dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
“Australia dengan senang hati mendukung kemitraan penting ini, antara Komisi Yudisial Indonesia dan para penasihat hukum komunitas difabel Indonesia,” kata Duta Besar Australia Greg Moriarty dalam siaran pers yang diterima Tempo, Kamis, 13 Maret 2014.
Dia menambahkan, Australia baru-baru ini meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Kaum Difabel.
“Kami bangga ikut serta mempromosikan pembangunan yang memberikan perhatian kepada kebutuhan kaum difabel,” kata Moriarty.
Nota kesepahaman tersebut ditandatangani dalam seminar “Akses Hukum bagi Kaum Difabel” di Yogyakarta dengan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki sebagai pembicara utama.
NATALIA SANTI
Terpopuler:
Di Pelukan Ibu Ade Sara, Dua Wanita ini Menangis Minta Maaf
8 Hal Membingungkan Soal Pesawat Malaysia Airlines
Di KPK, Ruhut Ungkap Aset Anas di PT Panahatan