TEMPO.CO, Hargeysa - Wilayah di barat laut Somalia, Hargeysa, masih mengadopsi mutilasi kelamin ekstrem yang dianggap ritual untuk menjaga kesucian wanita. Lebih dari 25 wanita mengalami mutilasi itu, yang lebih dikenal sebagai fir'aun, karena tata caranya serupa pada zaman kekejaman raja Mesir itu.
Mutilasi kelamin dilakukan dengan menghilangkan klitoris dan labia minora, memotong daging dan menjahit labia luar, dan hanya menyisakan lubang kecil untuk jalur keluarnya urine dan menstruasi.
Proses ini biasanya dilakukan menggunakan silet ketika gadis berusia 5-11 tahun tanpa obat penghilang rasa sakit. Jahitan itu dipertahankan sampai menikah dan akan dibuka saat akan berhubungan seks. Pembukaan jalur itu hanya menggunakan gunting.
"Saya melakukan ritual itu pada anak perempuan saya selama 15 tahun. Nenek dan ibu saya mengajari bagaimana melakukannya sebagai profesi. Namun saya berhenti melakukannya sejak empat tahun lalu," kata Amran Mahmood, seorang dukun yang biasa melakukan operasi ini, Kamis, 20 Februari 2014.
Arman menuturkan bahwa dirinya berhenti menjalankan praktek itu setelah ada masalah ketika memotong kelamin pasiennya. Ketika alat kelamin pasiennya berdarah, dia mencoba menyuntikkan obat ke luka itu, yang justru memperparah keadaan. Pasiennya pun tidak terselamatkan. Operasi semacam ini membutuhkan waktu 30 menit dan biayanya sekitar US$ 30-50.
Organisasi Kesehatan Dunia (UNICEF) mencatat mutilasi kelamin ekstrem menjadi tradisi di 29 negara di Afrika dan Timur Tengah. Lembaga ini mengatakan lebih dari 125 juta anak perempuan telah menjalani prosedur ini. Padahal pemotongan itu tidak memiliki manfaat kesehatan dan justru merupakan praktek pelanggaran HAM. Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi untuk menghilangkan tradisi kuno ini pada Desember 2012.
Di beberapa perkotaan di Somalia, tradisi ini sudah mulai ditinggalkan. Para orang tua mulai sadar akan rasa sakit yang pernah dialami dan mendukung perubahan. "Hal-hal sudang mulai berubah," kata seorang kepala desa di Hargeysa, Mohamed Said Mohamed, penganut muslim seperti kebanyakan di Somalia. "Hal ini tidak diterima oleh agama kami."
ASIAONE | EKO ARI
BERITA LAINNYA
Geram Ahok Soal Busway: Bus Rp 1 M Ditulis Rp 3 M
Abraham Samad: KPK Akan Berlari meski dengan Satu Kaki
Mengapa Risma Tolak Jalan Tol Tengah Surabaya?
PRT yang Disiksa di Rumah Jenderal Sedang Hamil
Usman-Harun Dilarang ke Singapura, Ini Kata Menlu