TEMPO.CO, Dili - Pemerintah Timor Leste meminta pengadilan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, memerintahkan Australia untuk mengembalikan semua dokumen yang disita dalam penggeledahan kantor salah satu pengacara Timor Leste, Bernard Collaery, di Canberra, Desember 2013 lalu.
Permintaan ini merupakan bagian dari rangkaian gugatan Timor Leste terhadap Australia terkait dengan perjanjian eksplorasi minyak dan gas di Laut Timor.
Baca Juga:
Gugatan di Den Haag ini merupakan upaya Timor Leste membatalkan CMATS Treaty (Certain Maritime Arrangements in The Timor Sea) tahun 2006, yang ditandatangani Perdana Menteri Australia saat itu, Alexander Downer, dan koleganya dari Timor Leste, Jose Ramos-Horta. Perjanjian itu akan mulai berlaku efektif tahun ini.
Berdasarkan kesepakatan CMATS, kedua negara akan mendapatkan pendapatan 50:50 dari ladang minyak dan gas Greater Sunrise. Dua negara ini mengklaim sama-sama berdaulat atas daerah yang terletak sekitar 150 kilometer selatan Timor Timur dan 450 kilometer barat laut Darwin. Kawasan ini diperkirakan memiliki kandungan minyak dan gas senilai US$ 40-50 miliar.
Timor Leste ingin merevisi kembali kesepakatan itu setelah eks agen intelijen luar negeri Australia (Australian Secret Intelligence Service/ASIS) yang bersedia menjadi whistleblower, mengatakan bahwa dinas intelijen Negeri Kanguru ini melakukan penyadapan saat kesepakatan itu sedang dinegosiasikan. Berdasarkan pengakuan ini, Timor Leste menuding Australia bersikap tak jujur dan melanggar hukum internasional. Timor Leste juga meminta kesepakatan tahun 2006 itu dibatalkan.
Di tengah upaya inilah badan mata-mata domestik Australia, Australian Security Intelligence Organisation (ASIO,) menggeledah kantor Bernard Collaery, dan membawa sejumlah dokumen dan file penting, 3 Desember 2013. Saat penggeledahan, Collaery sedang tak ada di Canberra. Pada hari yang sama, agen ASIO juga menggeledah rumah sang whistleblower, yang juga akan menjadi saksi kunci Timor Leste. Setelah eks mata-mata itu ditahan dan diinterogasi selama beberapa jam, paspor miliknya dicabut sehingga membuatnya nyaris tak mungkin ke luar negeri, apalagi bersaksi.
Menurut Collaery, salah satu file yang diambil dalam penggeledahan itu adalah dokumen pernyataan tertulis (afidavit) sang whistleblower. Dalam afidavit itu, eks agen tersebut mengaku mengetahui perihal pemasangan perangkat pendengaran rahasia oleh teknisi ASIS di dinding kantor kabinet Timor Leste yang saat itu direnovasi di Dili pada 2004.
Penggeledehan itu tak menghentikan proses hukum yang diajukan Timor Leste. Sidang pertama kasus itu, yang berlangsung tertutup, sudah dimulai akhir Desember 2013 lalu.
Sydney Morning Herlad | Canberra Times | Reuters | Abdul Manan